Oleh Lufiatul Hasanah
Aku biasa disapa dengan nama belakangku. Tapi sejak menginjak bangku SMK, sebagian para kenalanku memilih menyapa dengan nama depanku, Lutfi. Aku tak terlalu keberatan dengan berbagai macam nama yang biasa orang lontarkan padaku. Meskipun aku kadang mudah tersinggung. Hingga pernah dipanggil ‘Kak Ros’ karena wajah judesku. Mataku bulat, memberikan kesan tajam. Ditambah lagi, bibirku yang selalu datar. Seolah sangat langka untuk melengkung ke atas. Tapi aku bersyukur, berkat wajah menyebalkan ini para lelaki usil berpikir dua kali untuk menggangguku.
Aku tinggal bersama keluargaku. Keluarga sederhana yang tumbuh di sebuah kota kecil tak berpantai, di Jawa Timur. Dikota inilah, sumber kebahagiaanku. Suka dukaku. Aku tak pernah sekalipun pergi jauh dari keluargaku, pun mereka tak pernah sekalipun pergi ke luar kota meninggalkanku. Ah, tidak! Bukan tak pernah. Hanya saja kami rasanya lebih banyak mengabiskan waktu di kota kecil ini bersama.
Seperti sekolah kejuruan lainnya, sekolahku mengadakan magang untuk anak kelas 11. Yang mengharuskan para murid praktek kerja lapangan. Dan spesialnya, khusus untuk jurusanku, Multimedia, ketua jurusan mewajibkan semua siswa-siswinya untuk magang di luar kota selama 6 bulan. Sejak saat itu aku mulai menyadari makna kebahagiaan sesungguhnya.
Hobby-ku menggambar. Dan ya, menggambar juga menjadi sumber kebahagiaanku. Sampai bercita-cita untuk menjadi seorang animator, komikus dan arsitek. Karena aku pendiam, tak banyak orang tau tentang bakat dan minatku. Saat pengajuan portofolio penempatan magang pada ketua jurusan, gambarku di komentari ambigu ‘kok rambutnya kayak Naruto semua? tanyanya. Jujur, untuk pertama kali aku merasa itu adalah sebuah nilai buruk untuk karya-karyaku. Tapi perlahan aku sadar, aku tak terlalu percaya diri dan berpikiran sempit dengan karyaku. Harusnya aku menghargainya bagaimanapun bentuknya. Menerima semua saran dan kritikan. Kemudian, ketua jurusan memintaku untuk mencoba menggambar realis. Sayangnya, tak semudah itu. Aku selalu menyukai fiksi dan fantasi. Dengan gambar aku bercerita.
Kabar buruknya lagi, orang tuaku tidak mengijinkan untuk magang di studio animasi. Alasannya karena kotanya terlalu jauh, kendala biaya dan segudang alasan lainnya. Aku pasrah saja saat ditempatkan di sebuah tempat yang bergerak di bidang advertising, digital printing. Kenapa? Karena hanya kota itulah yang jaraknya paling dekat dengan kotaku. Kota yang beberapa pekan lalu sempat geger, terduga kota penari.
Bersama dua teman perempuan dan seorang lelaki, kita sepakat ditempatkan disana selama 6 bulan. Ah rasanya tak perlu kujelaskan lagi bagaimana perasaanku ketika kehilangan separuh kebahagiaan ini. Bukan separuh, hampir seluruhnya, karena aku tidak pernah selama itu untuk jauh dari keluarga. Benar-benar sakitnya lebih sakit dari putus cinta. Bercanda, aku orangnya sangat pasrah dan qanaah, ‘kok. Hehe. Aku kembali menata niat dan memantapkan tekatku untuk menimba ilmu dan pengalaman.
Tiga bulan pertama rasanya sangat berat. Temanku, hampir tiap malam menangis karena tidak betah. Selalu menelpon keluarganya dan meminta pulang. Setiap bulan ayahnya selalu menjemput, bersepeda motor kurang lebih 3 jam. Aku iba, dan berusaha sebisaku untuk menguatkan. Berbeda lagi, seorang temanku yang justru menjadi biang kerok di tempat kost kami. Bagaimana tidak? Dia benar-benar menganggap ini adalah rumahnya sendiri , membuat yang lain merasa risih. Apalah dayaku yang terlalu bersikap netral dengan keadaan.
Bulan Nopember musim hujan, kamar kost-ku bocor. Maklum saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk menekan pengeluaran. Baju-baju kami tidak disimpan di lemari, melainkan tetap di koper masing-masing. Alhasil, koper di tutup dengan plastik saat atap mulai bocor. Kasur kamipun ditutup plastik. Dan pemilik kost-an tersebut sudah sepuh sekali, tapi sangat baik. Mbah, begitu sapan akrab kami. Saat kita tidak memiliki lauk untuk makan, Mbah dengan senang hati membagi lauknya. Disana aku merasa menemukan keluargaku kembali. Itu alasanku enggan mencari kost-an ditempat yang lain. Sayangnya, temanku yang cengeng, memaksa untuk pindah karena ditawari tempat yang layak dengan harga yang sama. Jangan tanya temanku yang satu lagi, dia sudah pindah terlebih dahulu karena ada sedikit konflik.
Akhirnya, kami benar-benar memutuskan untuk pindah kost-an. Semua tak semudah itu, tak seindah khayalan kita. Benar, kita mendapatkan tempat yang lebih baguS, tapi pemilik kost-an tak sebaik sebelumnya. Ah selalu saja. Di dunia ini tak ada yang sempurna. Cobaan datang silih berganti. Aku sering kali meminjam uang pada temanku yang cengeng. Karena tidak memiliki rekening dan terpaksa harus menghemat sebisaku. Pernah kala itu, temanku sedang pulang ke kotanya. Aku sendirian di kost-an dengan kondisi keuangan yang sangat menipis. Seharusnya aku gunakan untuk makan selama dua hari, kupaksakan agar bisa untuk makan selama lima sampai tujuh hari. Aku membeli lontong dan kerupuk untuk mengganjal perutku. Saat itu, aku mulai tersadar. Ternyata keluarga benar-benar sangat berharga. Aku berandai dan terus menguatkan diri untuk tegar. Nanti kalau sudah pulang kerumah, kamu mau makan apa aja tinggal ambil. Gak perlu ribet mau beli, gak perlu takut kelaparan lagi. Pikirku.
Ternyata, semua ujian datang untuk menguatkan kita. Untuk menyadarkan kita. Kalau kita bersyukur, kita akan bahagia. Itulah kenapa, Allah berfirman “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” Q.S Ibrahim.
Di bulan ke empat dan selanjutnya, kami mulai bisa beradaptasi dengan kehidupan ini. Walau sekejap, rasanya benar-benar berkesan dalam hidupku. Tidak hanya ilmu yang aku dapatkan, tapi juga berjuta pengalaman. Bahagia itu, saat kita bersyukur di setiap hari kita, setiap saat, apapun, bagaimanapun.
YOU ARE READING
Menjadi Bahagia
Non-FictionBagaimana kalau kamu berhenti sejenak dan mencaritahu apa bahagia yang sesungguhnya di sini? Selami dirimu sendiri dan dapatkan hati yang baru setelahnya. Buku ini adalah karya anggota kelas menulis BukuKita pada minggu pertama di bulan Desember 201...