10 tahun lalu,
Aku pun akhirnya memutuskan mematikan data karena sedari tadi Arum dan juga Jessica berisik spam chat di Facebook karena kepo dengan hubunganku dan Satya. Aku memang belum menceritakan apa pun pada kedua sahabatku itu perihal pertemuan kami di GOR maupun di toko buku, pula tentang janji belajar bareng dadakan hari ini.
Semua terjadi begitu saja. Spontan, tanpa rencana.
Entahlah, aku juga tidak tahu kenapa aku belum bercerita tentang Satya pada kedua sahabatku itu, padahal biasanya kalau aku tengah dekat dengan cowok atau sekedar kagum—pasti mereka berdua langsung tahu. Karena aku memang tipe yang kentara sekali jika tengah menyukai seseorang.
Saat ini aku dan Satya tengah duduk di rooftop sekolah dengan buku di pangkuan masing-masing. Aku tengah mengerjakan tugas bahasa Indonesia—merangkum soal Ramayana, sedangkan pria itu tengah mengerjakan tugas Seni Budaya dan menggambar seni rupa tiga dimensi.
Aku tersenyum kecil saat sesekali Satya mengerutkan glabela karena bingung mau mewarnai gambarnya dengan warna apa. Pertama pria itu memilih warna hijau lumut, lalu menukarnya dengan biru muda, lalu kembali ke warna hijau lumut.
“Tugas lo udah sampai mana?” tanya pria itu yang sontak membuatku segera mengalihkan pandangan karena takut tertangkap basah kalau aku sedang memperhatikan pria itu diam-diam.
Aku berdeham sekali untuk menutupi salah tingkah. “Rangkuman gue udah mau selesai, sih. Tinggal nulis bagian Dewi Sinta membakar diri demi membuktikan kesuciannya. Terus tinggal ngasih kesimpulan dan pendapat pribadi,” jawabku serius.
Sebab inilah alasan aku mengiyakan ajakan Satya untuk belajar bersama. Jurusan IPA sudah mengerjakan tugas ini lebih dulu, jadi pria itu pasti bisa membantuku. Bahasa Indonesia memang bukan pelajaran favoritku, tapi aku sungguh suka membaca apalagi ini Ramayana. Salah satu karya terbaik sepanjang masa. Dan aku benar-benar tidak mau berurusan dengan Ibu Utami yang super killer, jadi tujuanku saat ini adalah mendapat nilai paling tidak di atas KKM agar tidak mendengar ceramah dari salah satu guru killer di SMA Pemuda itu.
“So, menurut lo siapa yang lebih cinta Shinta, Thi? Rama atau Rahwana?” tanya pria itu.
“Rama tentu saja, karena demi menyelamatkan Shinta—Prabu Rama rela melawan Dasamuka yang adigang, adigung, adiguna. Sedangkan menurut gue cintanya Rahwana itu cuma obsesi belaka, soalnya cinta itu nggak maksa, kan? Dan kalo Rahwana beneran cinta sama Shinta, dia nggak bakal nyulik Shinta dan maksa Shinta jadi istrinya.”
Satya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tapi kalau cintanya Rama lebih tulus atau cinta Sang Prabu memang lebih besar, harusnya Rama nggak meragukan kesucian Shinta sampai sang Dewi membakar diri dong?”
Ah, benar juga.
Aku menatap mata Satya lama, mencoba mencari apa yang sebenarnya tengah dipikirkan oleh pria itu. Dan Satya juga ikut menatapku intens, hingga untuk beberapa saat kami seolah bicara lewat tatapan. Tanpa kata, tanpa bicara, tapi kami seolah setuju soal satu hal.
“So?” tanya pria itu seraya menaikkan satu alisnya.
“Love is love. Pada akhirnya cinta tetaplah cinta, kan? Bahkan, saat lo mencintai dengan cara paling busuk sekali pun, tetap saja itu namanya cinta. Kalau yang dicari Dewi Shinta memang cinta, maka bisa saja dia milih Rahwana. Toh, kalo masalah cinta gue yakin Rahwana juga bisa jadi juaranya. But, hidup nggak se-simple itu. Lo jatuh cinta, lalu lo bahagia. Manusia itu serakah, so gue paham kenapa Dewi Shinta akhirnya milih Rama.”
“Ya, Rama memang sialan, karena dia meragukan kesucian Dewi Shinta. But, pada akhirnya Rama juga manusia biasa yang wajar punya kekurangan. Malah kalau si Rama terlalu sempurna, gue yakin ceritanya nggak bakalan seseru ini. So, gue bisa paham kenapa Dewi Shinta milih Rama, karena selain cinta, Rama juga menawarkan rasa aman. Sedangkan Rahwana cintanya maksa, dan gue yakin nggak perlu jadi Dewi Shinta buat tahu kalau segala hal yang ‘maksa’ itu nggak enak.”
“Good point, gue kasih nilai A buat pendapat lo. Cuma gue saranin besok lo juga harus kasih amanat dan ceritain garis besar ceritanya sesuai alur. Nggak usah terlalu detail, but pastikan yang penting-penting lo presentasiin.”
Aku pun langsung bersorak girang saat mendengar pendapat Satya. “Yes! Siap Pak Guru!”
“You’re welcome, Kanthi,” sahut pria itu seraya tersenyum lebar.
Lalu setelah itu kami pun memutuskan untuk pulang karena hari sudah hampir petang, dan tugas kami berdua juga sudah selesai. Kami berjalan bersisian ke arah tangga, dan semoga Satya tidak bosan karena dari tadi aku terus mengoceh soal banyak hal.
“Oke, jadi Pak Guru lo mau dibayar apa karena udah bantu gue hari ini?”
“Gue mau minta bayaran pakai hal lain nanti.” Satya menuruni tangga lebih dulu, lalu ia menawarkan tangannya ke arahku—untuk membantuku turun sebab tangga rooftop memang agak licin. “By the way, do you like stargazing?” tanya pria itu seraya menatapku intens.
“Why?” tanyaku seraya meraih tangan Satya, dan tubuhku sedikit gemetar saat kulit kami bersentuhan. Ah, reaksi listrik itu datang lagi. Ini benar-benar membuat gila, tapi aku suka.
***
Aku dan Satya berpisah di halte bus karena rumah kami memang berlawanan. Dan senyumanku semakin lebar saat aku mengingat kejadian tadi. Semuanya terasa meledak-ledak di dada, seperti ada kembang api yang meledak-ledak di pembuluh darahku yang mengalir dari ujung kaki sampai kepala.
“Jadi lo cewek barunya, Satya?” tanya sebuah suara dari sisi kiri yang sontak membuat aku menengokkan kepala ke arah sana. Dan keningku langsung berkerut begitu melihat siapa yang tengah berdiri di sana seraya menatapku dari ujung kaki sampai kepala dengan pandangan menilai. Sungguh aku tak suka dengan tatapan pria itu.
“Lo ngomong sama gue?” tanyaku memastikan seraya menunjuk dadaku sendiri. Karena untuk apa juga si populer Sergio Bastian mengajak aku bicara? Jelas, aku bukan tipe si playboy satu itu, aku bukan primadona sekolah yang biasanya dijadikan pacar oleh cowok itu. Di sekolah ini aku cuma figuran yang sudah pasti tidak akan dikenal sama sekali oleh anak-anak populer.
“Kalo ternyata cewek barunya Satya adalah teman lo yang nggak kasat mata, maka gue ngomong sama dia. Tapi si brengsek itu nggak punya indra keenam, jadi iyalah gue ngomong sama lo,” oceh Sergio yang membuat aku melongo. Dia lagi ngomongin apa, sih?
“Gue nggak tahu apa yang dilihat Satya dari lo. Tapi kalo kali ini si bajingan itu ngeliriknya lo, okelah gue join the game,” oceh pria itu seraya meringis karena punggung tangannya lecet sana sini.
Karena terlalu ngeri saat melihat luka Sergio, aku tidak begitu fokus dengan apa yang dibicarakan pria itu. Aku tidak tahu apa yang dimaksud game oleh pria itu dan perkataan awal pria itu jujur membuat aku dongkol setengah mati.
Dan jujur saja, Sergio membuat aku bad mood seketika.
Aku hanya melirik Sergio sinis karena malas menanggapi ucapan pria itu. Lalu aku membuka tas bagian depan untuk mengambil dua buah hansaplast yang biasanya memang selalu kubawa ke mana-mana sebagai persiapan, kalau tiba-tiba anxiety-ku kambuh hingga membuat aku melukai jariku sendiri.
Aku meraih tangan kanan Sergio yang tidak terluka dan menaruh dua hansaplast itu di sana. “Gue bukan ceweknya, Satya, karena gue sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dan mending lo tutupin luka lo itu sebelum infeksi.”
Dan untungnya bus jurusan rumahku datang juga, sehingga aku tidak perlu mendengar respons Sergio sama sekali. Lalu dengan perasaan dongkol setengah mati aku meninggalkan Sergio yang tampak melamun di halte. Dasar menyebalkan!
Sampai jumpa 3 hari lagi!
Sa,
Xoxo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance (Completed)
RomanceHidup seorang Kanthi Tjandra yang tenang berubah seratus delapan puluh derajat gara-gara reuni sialan yang sebenarnya sejak awal tidak ingin ia datangi. Kanthi benar-benar tak menyangka jika ia akan bertemu kembali dengan murid kelas sebelah yang pe...