Dua Puluh Empat

16 1 0
                                    

Setelah beberapa jam dalam perjalanan, akhirnya Dreons telah sampai pada salah satu Stasiun di Jakarta. Dreons memandang lurus ke depan, ingatannya kembali pada masa silam--di mana Vanya selalu menjemputnya ketika ia pulang ke Jakarta.

Ah, cewek itu lagi. Tak bisa kah ia enyah dari pikiran Dreons?

Cowok itu melangkahkan kakinya menuju tangga di mana pintu keluar itu berada. Dalam setiap langkahnya, tawa Vanya terus menggema dalam telinganya. Peluk hangat itu terus terbayang dalam otaknya.

Sial. Benar-benar sialan!

"Ingat Senja, Dre!" gumamnya kesal.

Sebelum ia benar-benar keluar dari Stasiun, cowok itu menarik napasnya sejenak lalu membuangnya dengan kasar.

Semua masih sama. Tidak ada yang berubah. Ah, maksudnya keramaian di kota ini tak pernah berubah. Yang berubah hanyalah kisah dalam perjalanan hidupnya.

Dreons tersenyum miris.

Cukup. Tak perlu disesali karena semua memang sudah terjadi. Semesta tak merestui dan takdir seakan mendukung semua itu.

"Aku kembali, Senja. Aku kembali pada kota yang membiarkan luka ku semakin menganga."

Saat Dreons ingin melangkahkan kakinya, tepukan di pundaknya membuat Dreons harus mengurungkan niatnya. Cowok itu berbalik. Kini mata Dreons rasanya ingin lepas dari tempatnya. Mulutnya sedikit terbuka.

Tidak. Ini tidak mungkin!

"Hai." Suara itu kembali menggema dalam telinga Dreons.

Dreons mengepalkan tangannya kuat. Kewarasannya sudah kembali pada tempatnya. Ini nyata. Ini bukan mimpi. Dia datang dan dia di sini--tepat berada di hadapan Dreons.

"Vanya?"

Cewek itu mengangguk lalu tersenyum manis. Tak berselang lama ia berhambur ke dalam pelukan Dreons.

"Aku kangen," katanya sendu.

Tubuh Dreons menegang. Ini tidak benar. Tapi ia juga tidak bisa melepaskan pelukan hangat yang selama ini ia rindukan.

Astaga Dreons, ada apa sama kamu sih!

Dreons ingin sekali melepaskan pelukan itu tapi rasanya juga berat sekali untuk melakukannya.

Merasa tidak ada balasan dari Dreons, Vanya segera mengurai pelukannya. Matanya menatap dalam mata milik Dreons. Satu hal yang Vanya lupakan, mereka sudah tidak ada hubungan.

"Ah, maaf," ucap Vanya canggung. Lalu ia mengalihkan pandangannya dari Dreons.

"Vanya."

Vanya segera mengalihkan pandangannya lagi ke hadapan Dreons. Jantungnya berdetak kencang. Tidak berubah. Masih sama. Perasaannya kepada Dreons masih sama.

"Iya?" tanya Vanya gugup. Ia takut Dreons marah dengan sikapnya tadi.

Dreons membuka mulutnya lalu tak berselang lama menutupnya kembali.

"Dre?"

Dreons terkesiap. Lagi dan lagi. Suara itu memporak-porandakan perasaannya. Ia rindu, ia sangat merindukan suara itu.

"Ayo, pulang!" ajak Dreons yang dijawab dengan anggukan oleh Vanya.

Sesampainya diparkiran, Dreons melupakan satu hal. Bagaimana Vanya bisa sampai sini untuk menjemputnya?

"Kamu--ah, maksudnya lo tadi ke sini sama siapa?"

Vanya merasakan hatinya semakin diremas. Vanya sadar semua ini adalah salahnya. Tapi.. Sudahlah. Diantara mereka sudah berakhir.

Untuk Jingga✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang