Arvin.
Gue udah hampir empat tahun tinggal di Rumah ini. Rumah Opung, rumah yang dialamatkan sebagai nama tempat bukan nomina atau kata benda. Lucunya, disaat rumah gue sendiri semestinya gue sebut dengan Rumah, gue selalu menyebutnya dengan Tempat Nyokap.
Karena sampai sekarang gue masih belum bisa buat bener-bener balik ke rumah gue sendiri.
Masih ada sesuatu yang bikin gue susah untuk menerimanya.
Karena balik ke rumah gue sendiri hanya akan membuat gue untuk mengingatnya lagi.
Gue benci mengingat hal-hal yang gak akan pernah bisa dilakuin lagi.
Terlalu menyakitkan.
Enam hari -nama band kita, latihan gak pernah lebih dari 3 jam. Meskipun kadang event yang kita ambil besar, kita selalu latihan selama itu karena dari segi baiknya, kita satu sama lain udah saling mengerti jenis musik yang kita mainin dan bahkan kita mengerti kesalahan teknis yang sering kita lakuin sehingga kita belajar dari itu, dan dari segi bangkenya, Javi selalu ngoceh kalau kita latihan lebih lama dari 3 jam karena dia mau push rank dirumah -padahal mah kalo main game gak pernah menang.
Gue meliriknya yang sedang duduk menghadap drum mic tanpa suara sambil memasukan gitarnya ke dalam case.
"Tumben lo gak balik duluan" Tanya gue.
Sagara udah cabut karena mau anter ponakannya mandi bola. Eja dan Kala juga udah balik duluan karena mereka ada urusan sama keluarganya -Eja yang mau ketemu adeknya, dan Kala mau ke klinik kakaknya sebentar. Yang jelas mereka berdua mau ketemu saudaranya. Saudara yang masih bisa mereka temui, saudara yang masih bisa mereka andalkan, dan saudara yang akan terus bersedia men-support satu sama lain.
Gue menghelas nafas sembari merebahkan tubuh dilantai.
Gue tertawa pahit sembari bicara dalam hati, "Saudara? that's fucking shit."
Setiap gue denger Eja bilang "Duluan ye, adek gue udah telfonin gue terus. Daaah"
Atau bahkan Kala, "Cabut ya, Kakak gue udah nungguin soalnya, bye"
Gue selalu merasa iri.
Iri karena gue udah bener-bener sendirian. Tanpa adanya sosok saudara.
Kakak gue.
Dia ada hanya untuk pergi.
"Nungguin lo cabut dan pastiin kalo lo ke sana" Jawabnya.
Gue gak menjawab apapun sampai akhirnya dia menatap gue seolah mengisyaratkan "Sana kek lo pergi"
Javi tau semua tentang gue, termasuk kakak gue. Gue gak tau harus jawab apa, dan gue gak punya jawaban yang tepat untuk dia, karena Javi selalu punya celah untuk membuat gue melakukan sesuatu yang sebenarnya gak ingin gue lakuin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Penuh Cerita
General FictionHanya rumah biasa yang setiap harinya di penuhi oleh canda tawa anak-anak. Bukan hanya itu, pemilik rumahnya pun sangat dekat dengan para penghuni yang tinggal di dalam rumahnya. Selain itu, ada lima anak laki-laki yang tadinya datang hanya untuk m...