Unexpected Day

194 22 6
                                    

Eja

Dibandingin adik gue yang punya segudang prestasi, gue gak pernah menemukan nama gue terpajang di lemari kaca rumah dalam sebuah medali, piala, atau piagam penghargaan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dibandingin adik gue yang punya segudang prestasi, gue gak pernah menemukan nama gue terpajang di lemari kaca rumah dalam sebuah medali, piala, atau piagam penghargaan. Semuanya nama dia.

Wilasa Tarendra

Juara 1 Olimpiade Sains Jakarta, Juara Umum Taekwondo Junior ASEAN, Juara 1 Kompetisi Karya Ilmiah Matematika dan Fisika. Banyak deh pokoknya. Karena otak gue cuma sesendok, jadi gue sebutin segitu aja.

Dari puluhan piala itu, ada satu piala gue yang ditaruh disana, bergabung dengan piala adik gue yang membanggakan. Piala kecil yang ukurannya gak lebih tinggi dari botol kecil plastik dengan tulisan kecil yang bahkan ada salah penulisan nama.

Juara 3 Lomba Melukis SMA Jabodetabek

Raefal Syahrezi

Mungkin yang bikin piala itu ngantuk sampai salah ketik Syahreza jadi Syahrezi, tapi gak masalah. Toh, piala itu juga kalo bisa ngomong dia minder banget pasti di taruh di tempat yang sama dengan piala-piala adik gue yang ukurannya 3 kali lipat lebih besar. Iya, piala gue jelek dan gak pernah terawat.

Kemudian gue baru inget kalau piala jelek itu gak benar-benar gue dapat dari hasil karya gue sendiri.

"Gue gak bisa! Liat tuh! Gue gambar garis aja belok-belok kayak jalanan puncak," Protes gue ketika sosok disamping gue yang dengan sabar dan dengan maksa pastinya, menyuruh gue untuk memegang kuas yang udah penuh dengan cat minyak warna hijau, membuat tangan gue juga ikutan kena cat, udah kayak kolor ijo aja gue bentukannya.

"Bisa! Pelan-pelan makannya!" Teriaknya balik.

"Gak bisa gueeee elah! Liat tuh! YAH KAN TUMPAH." Gue heboh waktu sebuah tempat cat berwarna merah terang tumpah ke atas kanvas dan dengan sigap, gue langsung mengangkatnya. "Tuuh liat. Jadi jelek. Udah ah, gak jadi. Gaaak jadi."

"Ih Ejaaa, coba dulu." Dia cemberut sambil narik-narik tangan gue kayak anak kecil.

Bukan Clarisa Pratista namanya kalau dia gak maksa gue buat jadi pelukis dadakan. Bukan pelukis doang sih. Sebetulnya, dia akan jadi manusia nomor satu yang paling semangat untuk maksa gue gabung ke lomba apapun itu - mulai dari lomba cerdas cermat, lomba catur sampai lomba gambar. Untung dia gak suruh gue ikutan lomba desain baju kawin deket komplek rumah waktu itu.

"Gak bisa ah! Udah ah! Tuh gak liat kanvas lo udah kayak lampu lalu lintas? Merah, kuning, ijo... Gak jelas banget kayak idup gue."

"Apaan sih! Ini bagus kalee."

"Bagus maneee sih?" Gue menggaruk kepala gue sendiri sambil mengamati gambar super abstrak yang bakal jadi bahan ketawaan satu sekolah kalau gue tunjukkin ini dengan tampang bloon gue.

"Nih, coba pake spidol. Gambar baik-baik... Merem dulu... Tarik napas.... Hayatin... Inget-inget muka Bokap Nyokap... Mukanya Rendra.. Muka lo... Gambar deh."

Rumah Penuh CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang