Javier
Ada satu hal yang ngebuat gue penasaran akhir-akhir ini.
Are we living or are we slowly dying?
Tapi setelah gue pikir-pikir, I think both. We live at the momment, but we all know we're not going to be here forever. Its okay, cause the goal is not to live forever, but to create something that (hopefully) can last forever, even tho we're no longer here.
Personally, I'd love to believe that we're given time here in this world to complete our mission. Each of us has different mission. Other than that, we're here to be parts of smth greater than ourselves. Someone lives, someone dies, but what someone leaves behind can last longer than that someone's itself better.
Namun buat gue, yang terpenting bukan bagaimana gue 'menghadapi akhir' tapi bagaimana gue menghadapi 'perjalanan menuju akhir'. The art of dying is the art of living, and someone who lives with dignity, will die in dignity.
Kita nggak akan ada disini selamanya, akan ada saatnya kita pergi, entah ke after life, atau kehidupan yang lain. Secara pribadi, gue percaya semua kemungkinan yang ada itu mungkin dan nggak ada kebenaran mutlak terkait itu.
Tapi bukan karena kita nggak ada disini selamanya lantas jadi berpikir, "oh toh suatu hari nanti gue akan pergi." Justru karena kita nggak akan ada disini selamanya, bukankah seharusnya kita melakukan yang terbaik sementara masih ada waktu disini.
Am I right?
Hidup itu kayak roda, kita nggak akan selalu ada di atas, kita juga nggak akan selalu ada di bawah. Hidup ya bukan balapan. Emang apa yang dicari sampai buru-buru? When the time comes, everything will be. Gue percaya pada konsep dimana apa yang jadi punya lo, mau sesulit apapun jalannya dan se-unbelievable apapun caranya, bakal nemuin jalannya sendiri menuju lo. Berusaha ya harus, tapi kalo kemudian keadaan nggak sesuai yang diinginkan, gue sih bakal letting go aja.
Dan entah kenapa, setiap susah selalu aja ada yang bantu. Kayak Tuhan ngerti aja kapan harus 'menahan' sesuatu dari gue atau 'memberi' sesuatu ke gue. I think His timing is the best.
Sama halnya waktu gue nggak lolos di Den Hag, gue ngerasa kalau ya mungkin bukan rejeki gue. Ketika satu pintu tertutup, entah kenapa Tuhan selalu membukakan pintu yang lain untuk gue. Tuhan tuh baik banget, saking baiknya gue sampai ngerasa kayak gue tuh nggak berhak dapetin ini semua.
Jujur aja, Swiss adalah negara yang nggak pernah gue bayangkan sebelumnya, apalagi untuk bisa magang disana. Awalnya gue kayak mikir apa gue harus apply ke negara-negara Asia Tenggara, tapi waktu itu Arvin datang menghampiri gue dan bilang "Coba yang di Swiss deh, nyet. Buruan apply. Jangan bikin malu gue." Nggak ada angin nggak ada hujan, dia tiba-tiba masuk ke kamar gue dengan sangat tidak sopannya dan bilang kayak gitu sambil tiduran di kasur gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Penuh Cerita
General FictionHanya rumah biasa yang setiap harinya di penuhi oleh canda tawa anak-anak. Bukan hanya itu, pemilik rumahnya pun sangat dekat dengan para penghuni yang tinggal di dalam rumahnya. Selain itu, ada lima anak laki-laki yang tadinya datang hanya untuk m...