Sagara
Setiap ada yang bilang,
"Udahan yuk sedihnya."
Semua orang pasti mau kok menyudahi sesuatu yang nyakitin banget. Tapi soal kenangan, susah banget. Gimana mau "udah" kalau setiap kali sendiri, suaranya suka tiba-tiba terdengar dan nanya, "Gimana? Udah mendingan tanpa aku?" Gimana mau "udah" kalau hal sekecil tertawa aja bikin gue teringat dengan hari-hari baik yang semesta berikan untuk kita? Gimana mau "udah" kalau dengan menyudahi ini rasanya lebih nyakitin?
Semua orang pasti ngalamin yang namanya kehilangan. Tapi apa semua orang pasti move on? Sayangnya enggak. Move on, gak sepasti rasa kehilangannya. Prosenya lama, bukan cuma secepat kedipan mata. Membekasnya bisa selamanya, bukan cuma sekedar sementara.
Tau gak, ternyata ada yang lebih berat dari ditinggal. Mau tau apa? Perasaan rindunya. Perasaan dimana kita harus membiasakan diri tanpa mereka. Perasaan saat kita harus menerima kalau semua gak sama lagi.
Ketika dia bilang, "maaf tapi kamu pantes dapet yang lebih baik."
Mau marah? Jujur gue gak tau, bingung, karena dia bilang maaf. Mau kecewa? Percuma, semuanya udah selesai. Mau sedih? Capek duluan, karena gak akan ada yang berubah kecuali cerita kita. Jadi gue harus gimana? Harus menerima kah? Harus lupain kah? Atau biarin aja? Gak bisa. Gue gak bisa berbuat apa-apa. Gue cuma bisa jalanin hari ini seperti hari lain dengan semua ingatan tentang sebuah "maaf" yang masih sama.
Kayaknya kalimat, "maaf kamu pantes dapet yang lebih baik" atau "maaf kamu terlalu baik buat aku" terdengar seperti kalimat-kalimat paling sopan buat sebuah perpisahan. Padahal kalimat-kalimat itu jadi jauh lebih nyakitin dan bikin kita susah lupa sama siapapun yang mengucapkan itu karena itu bikin kita ngerasa jadi 'baik' adalah hal yang salah. "Someone's leaving because i'm too good." Itu bikin kita ngerasa kalau kepergiannya adalah salah kita. Karena kita terlalu baik makannya dia pergi.
Gak ada 'selamat tinggal' yang mudah, karena ketika seseorang ninggalin kita, orang pertama yang akan kita salahin adalah diri kita sendiri.
"Kalo aja gue gak gini."
"Kenapa sih gue harus begitu?"
We blame ourselves too much in every goodbyes we had, and that's the most hurtful part.
Orangnya udah pergi. Jauh malah. Jadi, apa yang mau dikejar lagi? Yang tersisa sekarang cuma penyesalan-penyesalan penuh arti sama sedikit harapan kalau semua bisa kembali seperti semula lagi. Tapi gak semua yang pergi itu pulang. Entah karena mereka memang lupa jalan atau karena pantas dapat tempat yang gak membiarkan diri mereka pergi untuk menghilang.
Pengen banget untuk memanggilnya kembali, "Kenapa sih harus secepat itu perginya? Gak bisa nanti-nanti aja?" Dan dia gak pernah jawab. Karena memang bukan haknya untuk memutuskan. Takdir memang maunya begini untuk kita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Penuh Cerita
General FictionHanya rumah biasa yang setiap harinya di penuhi oleh canda tawa anak-anak. Bukan hanya itu, pemilik rumahnya pun sangat dekat dengan para penghuni yang tinggal di dalam rumahnya. Selain itu, ada lima anak laki-laki yang tadinya datang hanya untuk m...