Cheara
Hari ini langit mendung, tapi udaranya tetep aja terasa gerah.
Sesaat setelah kelas selesai, gue langsung pergi kepelataran depan kampus. Gue langsung bersyukur ketika mendapati satu deretan bangku kosong. Hawa panas kayaknya ngebuat kebanyakan orang jadi ogah duduk dipelataran depan. Yah, mending nongkrong di kelas atau pendopo kampus yang masih terkena hembusan sejuk dari pendingin ruangan.
Tapi nggak dengan gue. Untuk sekarang, gue butuh tempat menyendiri, dimana gue bisa melamun tanpa dianggap aneh dan ditanya-tanya kenapa gue melamun. Emangnya sejak kapan sih kita butuh alesan buat melamun?
Begitu duduk dibangku, gue mengeluarkan kotak bekal gue yang disiapin sama nyokap gue tadi dan karena gue baru ada waktu senggang sekarang jadi gue baru memakannya. Sembari melahap masakan bunda, gue berhenti sesaat ketika mata gue memandang pada satu arah secara acak mendapati seseorang yang familiar.
Itu Javier.
Mata gue gak mungkin salah, karena gak ada cowok seantro kampus yang mirip dia. Cahaya matahari yang redup membuatnya justru terlihat semakin sureal. Rambutnya menyemburkan warna cokelat agak merah yang samar. Seiring dengan jaraknya yang semakin dekat, gue bisa melihat sedikit freeckless disekitar hidungnya. Dasar bocah bule.
Gue nggak tau sejak kapan, tapi entah kenapa melihatnya gak lagi menciptakan letupan emosi dalam dada gue. Kayak masalah diantara kita berdua sudah selesai. Gue gak lagi merasa kesal karena penolakannya atas permintaan gue agar dia bersedia bertemu adik gue di hari ulang tahunnya. Mungkin karena dia sudah menolong gue, dan itu nggak hanya terjadi sekali. Atau karena dia mau repot-repot mengucapkan selamat ulang tahun pada Anin yang efeknya bahkan masih membuat dia kesenengan sampai hari ini.
Gue menghampirinya. Dan dia keliatan agak kaget dengan kemunculan gue, tapi kemudian senyum tipisnya tertarik. Hm, kalau gue pikir Javier bukan tipe cowok yang hobi mengobral ekspresi.
"Gue mau ngembaliin jaket lo." Gue buru-buru berucap, nggak mau ada kesalahpahaman. Sejujurnya gue udah nggak peduli lagi dia masih mau ketemu adik gue apa gak. Paling nggak, Anin bisa tersenyum dan nggak melulu teringat sama Ayah. Itu aja udah cukup.
"Hng, thanks. Tapi gue punya dua tangan dan tangan gue lagi---ehem, seperti yang lo bisa liat."
Secara refleks gue langsung menatap pada kardus berukuran medium yang dia pegang.
"Lo danusan?"
Javier mengangguk.
"Gue gak tau kalau danusan lo sampai ke fakultas gue."
"Ini punya temen gue."
Gue nggak tau apa yang gue pikirin hingga kalimat itu terlontar begitu saja seperti teh yang tertuang tanpa bisa disaring. "I can help you, if you don't mind."
"Really?"
"Setelah semua yang lo lakuin ke gue, this is the very least thing I can do."
Kalau boleh jujur, gue benci terlihat dikampus dengan sosok orang yang menarik perhatian seperti Javier. Cowok yang dari awal ospek universitas aja udah dikenal oleh satu kampus, bahkan oleh kakak tingkat. Belum lagi prestasi dia yang seabrek-abrek buat kampus, he is extremely perfect.
Javier udah banyak membantu gue. Ada nggak ada dia gue bakalan tetep semaput di pelataran kafe hari itu. Tanpa ada dia mungkin gue sudah terkapar di rumah sakit, bikin panik Bunda dan Anin. Tanpa ada dia, gue akan pulang naik bus dengan kondisi baju yang transparan karena basah. Setelah semua yang sudah dia lakukan, gue nggak bisa pura-pura gak tau.
"If you don't mind, then it's okay." Untuk pertama kalinya dia tertawa. Tawa sungguhan hingga deretan giginya yang cemerlang terlihat. Gue terperangan sejenak. Gila, ini cowok sering scaling gigi kali ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Penuh Cerita
General FictionHanya rumah biasa yang setiap harinya di penuhi oleh canda tawa anak-anak. Bukan hanya itu, pemilik rumahnya pun sangat dekat dengan para penghuni yang tinggal di dalam rumahnya. Selain itu, ada lima anak laki-laki yang tadinya datang hanya untuk m...