#7

650 61 17
                                    

Agaknya Sangwoo harus mengucap syukur pada semesta. Pasalnya meski sempat memburuk, kini kondisi Jaehyun sudah mulai membaik hingga ia diperbolehkan menemui putra sulungnya itu setelah seharian penuh memeluk rasa resah di kala menunggu sang putra membuka mata.

"Jaehyun, maafkan Papa."

Hanya satu kalimat itu yang sedari beberapa bulan lalu ingin Sangwoo sampaikan. Jaehyun yang masih tergolek lemah di atas ranjang pesakitannya hanya mengerjap lemah tanpa berniat memberi suatu jawaban pada sang ayah.

"Setelah kau sembuh kita pulang, ya?"

Sangwoo berujar penuh kehati-hatian. Digenggamnya lembut jemari sang anak yang lumayan dingin. Berharap dengan sentuhan tulusnya, tangan itu akan mendapat kehangatan.

Jaehyun melirik dari ekor matanya. Kurva tipis tercipta dari bibir tipis nan pucatnya, ia tersenyum remeh.

"Baiklah kalau begitu, aku takkan pulang. Bukankah meski aku keluar dari sini aku belum sembuh?"

Sangwoo membeku di tempatnya, ia lupa. Lupa bahwa tidak sesederhana itu bermain dengan kata 'sembuh' untuk kondisi Jaehyun. Bahkan, baru beberapa jam lalu ia ketahui jika kondisi jantung Jaehyun sudah mengarah ke kondisi yang lebih buruk dari sebelumnya.

"Jantung koroner. Belum masuk ke tahap yang lebih serius, hanya saja sudah terdapat beberapa pembuluh darah pasien yang tersumbat. Apakah pasien seorang perokok?"

Mengingat pernyataan dan pertanyaan dokter saat itu membuat Sangwoo berkali-kali lipat ingin membunuh dirinya sendiri. Harusnya tak semudah itu ia percaya jika anaknya takkan terjerumus pada hal-hal seperti itu lagi. Ditambah kelalaiannya hingga sang putra pergi meninggalkannya dengan membawa banyak luka di hatinya.

Jaehyun hanya menyaksikan kekosongan sang ayah. Tak dipungkiri, hatinya pun berdenyut sakit melihat di depannya sang ayah yang gagah dan tangguh itu seakan kehilangan nyawa. Diam-diam, Jaehyun merasa bersalah, namun apalah daya jika melawan ego setinggi langit milik pemuda berkulit pucat itu.

"Jika sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Papa bisa keluar sekarang."

Jaehyun bersiap untuk memejamkan kembali kedua netranya sebelum apa yang ayahnya katakan mampu menariknya untuk kembali terjaga.

"Jaemin di depan, menunggumu. Dia tak berhenti menangis sedari kau pingsan."

Detik itu juga raut wajah Jaehyun berubah panik. Ia lupa satu fakta bahwa sebelum dirinya pingsan, ia sudah bertemu dengan sang adik.

"A-apa dia tahu tentang penyakitku?"

Jantungnya berpacu menunggu jawaban dari yang lebih tua. Ohh tidak, itu tak baik bagi jantungnya.

"Papa belum sempat mem--"

"Jangan beri tahu dia! Kumohon."

Kini wajahnya berubah sendu. Tatapan mata memohon itu sungguh kelemahan terbesar Sangwoo.

"Dia adikmu, Hyun. Jaemin pantas tahu mengenai hal ini."

Kini matanya berubah berkaca-kaca. Tanpa sadar ia raih tangan sang ayah, menggenggamnya begitu erat seakan tangan itu hilang jika ia kendurkan sedikit saja.

"Papa, kumohon jangan beri tahu Jaemin. Aku tidak ingin terlihat lemah dan menyedihkan di hadapannya. Apapun yang Papa minta akan aku lakukan."

Berfikir sejenak, menimbang kiranya apa yang harus ia minta jika ia memutuskan untuk menuruti putra sulungnya itu.

"Pulang."

Satu kata itu menghentikan aksi Jaehyun yang tengah menggenggam tangan sang ayah. Ia tak mau, sungguh. Apalagi kini di rumah itu tak hanya ada sang ayah tapi juga ibu dan kakak tirinya.

THE Gift™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang