#3

743 84 34
                                    

"Jaehyun!"

Kedua manusia seusia di dalam ruangan tersebut berjengit kaget kala pintu ruangan tersebut dibuka dengan kasarnya yang setelahnya disusul dengan suara berat dengan nada khawatirnya yang tinggi yang sudah jelas-jelas Jaehyun hafal.

"Johny."

Yang disebut namanya pun hanya tertawa canggung. Tatapan tajam sahabatnya itu terlalu menusuk meski sudah ratusan kali ia dapatkan, namun rasanya masih saja menyeramkan.

"Hehe ma-maaf, Hyun."

Johny tak punya pilihan lain, ia sudah jengah sedari tiga jam yang lalu ponselnya terus berdering menampilkan nama sang ayah dari sahabatnya yang terus-menerus memanggil.

"Apa lagi yang terjadi padamu? Kenapa kau suka sekali membuat Papa khawatir, hah?"

Jaehyun tersenyum sinis, baru saja ia ingin menjawab namun kedua netranya tak sengaja menangkap bayangan seseorang yang sangat tak ia harapkan kehadirannya.

"Ck ... saat seperti ini saja kau masih sempat-sempatnya membawa wanita itu?"

"Jaga bicaramu, Lee Jaehyun, wanita ini adalah calon ibumu."

Suara Sangwoo melirih. Ia bisa melihat Jaehyun meringis di antara kekehan paksanya. Wajahnya pucat dengan bibir sewarna kertas.

"Tidak! Ibuku hanyalah Song Hyuri, tidak dengan yang lainnya, dan- akhh!"

"Hyun/Jaehyun!"

Johny segera menekan tombol merah yang tepat berada di sampingnya dan Sangwoo dengan segera mendekat ke arah ranjang dimana putranya menggeliat sambil mencengkeram dadanya.

"Jaehyun, apa yang terjadi padamu? Johny, Jaehyun kenapa?"

Johny menggeleng keras. Ia juga tidak mengerti dengan keadaan sahabatnya itu. Kepanikan masih merajai ruangan tersebut hingga seorang dokter dan perawat wanita menerobos masuk dengan tergesa. Sedikit menabrak tubuh wanita yang dibawa oleh Sangwoo tadi karena ia yang berdiri menghalangi jalan.

"Tolong keluar sebentar agar kami bisa menangani pasien dengan baik."

Johny mengangguk namun tidak dengan Sangwoo. Ia terus menggenggam tangan sang anak dan tidak akan ia lepas jika saja Johny tak menariknya.



























































"Tidak! Tidak mungkin. Mama tidak mungkin mati, mama tidak mungkin meninggalkan Jaemin. Kau bohong Dokter, kau pembohong."

Jaemin berlari mengikuti laju brankar yang menggiring tubuh kaku ibunya menuju kamar jenazah.

"Mama bangun, jangan tinggalkan Jaemin hiks Jaemin tidak mau sendiri mama. Jaemin rela mama pukul, mama siram dengan air tapi jangan tinggalkan Jaemin. MAMA! TIDAAAKK, JANGAN BAWA MAMA!"

Tubuhnya melemas seketika saat tubuh ibunya sempurna tertelan pintu. Lantai dingin rumah sakit menjadi selimut bagi tubuh ringkihnya hingga perlahan pandangannya menghitam.




Tiga hari setelah kematian sang ibu, Jaemin memilih untuk tetap tinggal di dalam rumah sederhananya. Mengenang saat-saat yang tak sepenuhnya indah bersama ibunya yang tempramental. Jaemin terus memeluk figura fotonya bersama sang ibu yang diambil setelah dirinya dan sang ibu pindah ke Seoul.

Jaemin berjalan perlahan menuju kamarnya setelah meletakkan kembali figura tersebut ke atas meja. Ia membuka laci nakas paling bawah, mengangkat beberapa buku dan menemukan benda yang dicarinya ditumpukan paling bawah.

THE Gift™Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang