Aku membuang napasku kasar. Mulai memakai kembali jaket olahraga yang kubawa, lalu menenteng bola basket di lengan kiriku. Aku berjalan menuju pintu untuk keluar gedung, tapi belum sampai pintu, kulihat santri putri bernama Safira berjalan memasuki gedung ini sambil memainkan bola basket, disusul dengan Nayaka.
Mataku membulat. Aku terburu-buru membalikkan badanku agar tidak melihatnya. Aku melangkah dengan tergesa-gesa, mencari tempat untuk bersembunyi.
"Nay kau serius, dengan olimpiade kimia itu?" tanya Safira.
Keningku berkerut. Olimpiade?
Kulihat dari sini, Nayaka dan Safira mengambil duduk di kursi tribun paling bawah, tak jauh dari tempatku bersembunyi. Aku bernapas lega, karena artinya, aku masih bisa mencuri dengar percakapan mereka."Aku serius, Fir. Karena itu, aku harus rajin belajar," jawab Nayaka sambil mulai membuka buku.
"Bukankah kesulitan terbesarmu itu, berpikir cepat?" tanya Safira. "Aku khawatir kalau kau tidak memenangkan olimpiade, teman-teman akan semakin mengejek dan mengatakan kau tukang contek yang ulung," sambungnya.
"Kau tahu apa yang teman-teman gunjingkan setiap kali ada kesempatan?" tanya Safira.
Pertanyaan Safira hanya dijawab dengan mengedikkan bahu oleh Nayaka. Safira mendengus kesal.
"Sarah pernah dengan angkuh mengatakan 'Menyebalkan sekali! Aku yang paling cerdas di kelas ini, bagaimana mungkin Ustadzah Wardah, memilih Nayaka untuk mewakili olimpiade kimia?" Safira menirukan gaya bahasa teman sekelas mereka. Aku terkekeh geli.
"Lalu Farah menyambung, Iya ... Nayaka bahkan tidak aktif di kelas. Saat tanya-jawab untuk sesi kuis, dia seperti orang kebingungan. Aku curiga, kalau selama ini Nayaka mencontek saat Ujian Semester. Bisa saja ia membawa kertas contekan selama ujian?" jelas Safira.
"Dan masih banyak gunjingan-gunjingan teman kita tentang hal serupa, Naya. Karena saat Sarah dan teman-temannya menggunjing, aku berada tepat di belakang kursi mereka. Aku benar-benar ingin menyumpal mulut mereka dengan tong sampah!" tutur Safira berapi-api.
"Lagipula, olimpiade bertepatan dengan liburan kenaikan kelas. Memangnya kau tidak ingin berlibur, dengan Ayah?" tanya Safira sambil melirik sahabatnya itu.
"Fir ... Pertama, aku tidak peduli dengan apa yang teman-teman katakan. Yang terpenting, aku tidak terbukti menjadi tukang contek. Kedua, Ayah sudah memiliki jadwal ke luar kota, jadi kemungkinan aku liburan seorang diri di rumah," ucap Nayaka. Ia kembali fokus dengan bukunya.
"Kau yakin akan menang?" tanya Safira ragu.
"Tentu saja! Hanya karena aku kesulitan menjawab saat sesi tebak soal harian, bukan berarti aku tidak bisa. Aku hanya perlu belajar lebih giat lagi," jawab Nayaka santai.
Aku tersenyum. Nayaka-ku yang pantang menyerah. Jika melihatnya seperti ini, ia tidak terlihat seperti gadis berusia empat belas tahun. Kata-katanya bahkan terdengar seperti gadis yang mampu menguatkan orang lain. Cara berpikir Nayaka sangat dewasa.
Pandanganku mengarah pada Safira. Kulihat Safira justru terlihat sangat kesal. Lalu ia melampiaskan rasa kesal, dengan memainkan bola basket di jari telunjuknya.
"Nay! Kau sadar sudah menyakiti diri sendiri?" tanya Safira masih dengan memainkan bola basket.
Nayaka menutup bukunya. Ia terlihat menghela napas pelan. Kemudian menatap sahabatnya dengan guratan wajah lelah.
"Fir ... kau tau bukan, seberapa penting prestasi internasional untukku?" tanya Nayaka lirih. "Aku sudah berhasil di seleksi Nasional. Jika aku berhasil di olimpiade internasional, aku bisa masuk Universitas manapun yang ku inginkan ketika kuliah nanti," sambungnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/209187970-288-k727490.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
NAYAKA (Sudah Terbit)
Romance#Nayaka Dicintai oleh seorang Ustaz sejak berusia dua belas tahun, tidak pernah terpikir oleh gadis biasa bernama Nayaka. Terlebih, usia keduanya terpaut sangat jauh, delapan belas tahun. Namun, isi hati Ustaz bukan sesuatu yang layak dihakimi. Terl...