Part 10 : Air Mata Di Pusara Ibu

631 54 17
                                    


***

POV USTADZ BAHA

S

etelah cukup menenangkan diri, dan mendengar banyak nasihat, aku pamit kembali ke rumah sakit pada Pak Syakib.

Pak Syakib benar, aku mungkin tidak menyakiti Nayaka, karena Nayaka belum tau tentang perasaanku ini. Tapi memiliki Ayah mertua seperti Pak Syakib ialah suatu keberuntungan.

Aku sadar, aku bukan hanya sedih lantaran tidak bersatu dengan Nayaka karena hendak menikahi perempuan lain. Tapi juga sedih, lantaran kehilangan sosok bijaksana seperti Pak Syakib dalam hidupku.

Aku menekan knop pintu, lalu keluar rumah. Setelah aku mengucap salam, Pak Syakib masuk ke dalam rumah.

Ketika aku melangkah dari pintu rumah Pak Syakib, mataku menangkap siluet gadis berkerudung biru langit keluar melalui garasi rumah sambil mengusap matanya, lalu masuk ke dalam taksi di depan gerbang.

Itu Nayaka. Ya Allah ... mungkinkah Nayaka mendengar semuanya?

Aku bergegas memamcu mobil dan mengikuti taksi yang di naiki Nayaka.

***

Aku menghentikan mobilku tepat di depan pos penjaga makam. Kulihat, seorang laki-laki paruh baya—yang mungkin merupakan penjaga makam—tengah menikmati makan siangnya.

Aku keluar dari mobil dengan tergesa-gesa.

Karena tidak ingin mengganggu bapak penjaga makam, aku memutuskan untuk terus berjalan memasuki area pemakaman tanpa menyapa terlebih dahulu.

Tapi baru beberapa langkah, seseorang menegurku dari belakang.

“Assalamu’alaikum,” sapanya ramah.

Aku pun berbalik dan menjawab salamnya. Bapak itu memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

“Wa’alaikumsalam. Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru,” jawabku.

Bapak itu menahan lenganku.
“Maaf, Mas. Di dalam sedang ada peziarah yang tidak ingin di ganggu. Mungkin ... Mas bisa menunggu di pos bersama saya,” katanya dengan senyum canggung.

“Apa yang ada di dalam itu, Nayaka?” tanyaku singkat.

“Lho ... Mas tahu Mbak Naya? Iya, Mbak Naya di dalam. Ngomong-ngomong, Mas ini, siapa?” tanyanya padaku.

“Saya Ustadznya Naya di pesantren, Pak. Kalau begitu saya susul Naya dulu. Nanti saya jelaskan.”

Aku lanjut berjalan tanpa mempedulikan teriakan bapak penjaga makam. Yang ada dalam pikiranku hanya Nayaka. Aku harus segera meminta maaf dan menjelaskan situasiku padanya.

***

Tidak jauh dari gerbang pemakaman, aku bisa menemukan tempat peristirahatan ibu dari Nayaka.

Aku ada di arah samping kiri Nayaka dan bersembunyi dibalik pohon yang tak jauh dari makam ibu Nayaka. Aku tidak ingin mengganggu, setidaknya hingga ia siap untuk di ajak bicara.

Kulihat, saat ini Nayaka baru saja menutup Majmussyarif yang telah selesai di bacanya. Perkiraanku, Nayaka telah sampai di makam ini 20 menit sebelum aku tiba.

Ya, aku sempat kehilangan jejak Nayaka, sebelum akhirnya menanyakan pada setiap orang yang kutemui tentang arah alamat jalan yang dilalui Nayaka pada warga sekitar. Mereka mengatakan bahwa arah jalan itu buntu pada komplek pemakaman.

Tangan kiri Nayaka memeluk Majmussyarif, sementara tangan kanannya mengusap pelan nisan bertuliskan nama sang ibu.

Kalimat pertama yang ia ucapkan dengan suara parau begitu menamparku.

“Ibu ... Aku telah menepati janjiku pada ibu, untuk tidak menangis di hadapan Ayah jika ibu pergi. Aku harus selalu membahagiakan ayah, bukan? Aku pun memendam kepedihanku sendiri tanpa bersandar pada siapapun.”

Aku bisa melihat, Nayaka menarik napasnya, dalam. “Ibu bilang cukup hanya Allah ... tapi ternyata aku tetap butuh tempat berbagi. Aku butuh teman bicara.”

Hatiku serasa diremas. Melihat gadis kesayanganku menangis di depan makam Ibunya, membuat pertahananku runtuh. Air mata yang sejak tadi kutahan pun perlahan luruh.

Kudengar Ia mulai terisak lirih, bahunya bergetar dan usapan tangan pada nisan Ibunya kian melambat.

Aku menunggu kalimat selanjutnya yang akan ia katakan.

“Ibu tidak pernah menceritakan padaku, bahwa masa remaja, akan sesulit ini. Disini sangat sakit, Bu,” Ucapnya seraya menunjuk dadanya sendiri.

“Jadi izinkan aku menangis di sini, agar Ayah tetap tidak melihatku menangis,” sambungnya.

Ia menepuk dadanya pelan. Cukup! Aku tidak sanggup lagi melihatnya menangis. Air matanya adalah hal yang paling aku benci.

Aku berniat melangkah meninggalkan area pemakaman, tapi pengakuan Nayaka membuatku mematung.

“Aku mencintainya, Bu. Ustadz Baha ... aku mencintainya.”

Ucapannya kian lirih, namun isakannya menguar. Hatiku mencelos. Jantungku serasa ditusuk ribuan paku.

Aku menunggu kalimat itu keluar dari bibirnya, tapi bukan dalam situasi yang seperti ini.

Ya Allah ... Ini sangat sulit untuk kami. Kami saling mencintai dengan cara yang bermartabat, tidak bertentangan dengan aturan Agama. Bahkan aku menekan rasa malu ku dengan mengungkapkan perasaanku melalui Ayahnya. Karena aku menghargai Ayahnya, dan menghormati Nayaka.

Nayaka lama terdiam dan masih menangis. Aku tidak tahan dengan pemandangan ini, jadi aku memutuskan untuk segera keluar dari area pemakaman. Tak lupa mengucap terimakasih kepada penjaga makam.

Aku hampir lupa. sebelum masuk mobil, kuhampiri lagi bapak penjaga makam dan berpesan agar tidak memberitahu Nayaka bahwa aku datang kemari.

***
Setelah kupastikan mobilku jauh dari area pemakaman, kuputuskan untuk memarkirkan mobil di sisi kiri jalan. Melepas sabuk pengaman lalu mendorong kursi kemudi hingga aku bisa bersandar nyaman.

Air mata terus mengalir tanpa bisa kutahan. Hati dan pikiranku kacau. Ibu pun baru saja memberitahuku bahwa besok aku harus menikah. Ya ... menikah dengan gadis pilihan ibu yang bernama Nisa. Benar-benar Nisa, bukan Nayaka.

Aku tidak pernah menyangka, jika pada akhirnya akan menikah dengan perempuan yang tidak kucintai, hanya berselang waktu dua minggu setelah aku mengungkapkan perasaanku pada ayah Nayaka.

Teringat akan nasihat Ayah Nayaka, aku merasa tidak ada lagi kesempatan untuk merubah ketetapan Ibuku. Karena Nayaka menyukai laki-laki yang taat pada Ibunya. Aku pun merasa, tidak mendapat dukungan dari semesta.

Kuraih ponselku, membuka aplikasi Whatsapp, kemudian mengirim pesan video pada Pak Syakib.

Ya ... aku merekam kejadian di makam tadi. Meski suara Nayaka begitu lirih, tapi kesedihannya terpampang sangat jelas—bahkan jika dilihat hanya dari punggungnya saja.

Dalam pesan video, aku memberi tahu Pak Syakib, bahwa Nayaka sering memendam kesakitan seorang diri.

Tak lupa kutulis pesan untuk Pak Syakib. Bukan bermaksud mengadu, aku hanya ingin gadisku dilindungi.

[To Pak Syakib : ]
Assalamu’alaikum. Pak Syakib, maafkan saya telah lancang mengikuti putri anda. Saya hanya ingin menunjukkan ini. Nayaka selalu menyimpan kesakitannya seorang diri. Maaf karena saya tidak menjaga putri anda dengan baik.

Setelah ku tekan tombol sent, tubuhku ambruk kembali. Nayaka, gadis yang kucintai. Takdir seperti sedang mempermainkan kami.

Bersambung...

Jika kamu berada di posisi Ustadz Baha, siapa yang akan kamu pilih? Gadis yang kau cintai, atau Ibu yang tidak pernah lelah mencintaimu?

Pilihan Ustadz Baha sangat sulit. Memendam perasaan bertahun-tahun, eh disuruh nikah sama perempuan yang nggak dikenal.

Nduk Naya, yang sabar ya, Nak? Saya juga ngetiknya sambil mewek bombay.

NAYAKA (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang