Part 11 : Ibu, Aku Mencintainya

656 47 6
                                    

***

POV Nayaka

Aku telah berpamitan pada Ayah—ketika pintu rumah di ketuk. Jadi, Ayah pasti mengira bahwa aku sudah sudah pergi ke makam terlebih dahulu.

Tadinya aku memang berniat langsung pergi setelah pamit, tapi aku lupa bahwa aku pergi sendiri dengan taksi, jadi aku kembali ke kamar untuk mengambil dompet.

Ketika Ayah membuka pintu dan kulihat sekilas bahwa tamu itu adalah Ustadz Baha, aku memutuskan untuk mendengar percakapan Ayahku dan Ustadz Baha terlebih dahulu.

Ya ... Aku telah mendengar semuanya. Mendengar apa yang beliau berdua bicarakan. Baik dulu, maupun hari ini.

Aku yang saat itu batal menginap di kediaman Ayah Radika dan Bunda Ana, pada akhirnya mendengar semua ungkapan perasaan dari lelaki yang sejak awal kukagumi.

Aku mendengar dengan sangat jelas, ketika Ustadz Baha mengutarakan perasaannya pada Ayahku beberapa waktu lalu. Bahwa Ustadz Baha menaruh hati padaku sejak aku berusia dua belas tahun.

Aku juga merasakannya. Merasakan apa yang Ustadz rasakan. Aku tidak tahu persis sejak kapan perasaan itu tumbuh, yang jelas aku sangat bahagia ketika melihatnya. Lebih bahagia sejak beliau mengajar di kelasku dulu.

***

“Assalamu’alaikum, Pak Maman.”

“Wa’alaikumsalam, Mbak Nayaka. Tumben sendirian? Bapak, mana?” tanya Pak Maman.

“Ayah sedang ada tamu dirumah, Pak Maman. Ini, saya bawakan makan siang,” jawabku, lalu memberikan nasi kotak untuk Pak Maman.

“Wah ... Terimakasih, Mbak Naya,” ucap Pak Maman.

“Sama-sama, Pak Maman.” Kami berdua tersenyum.

“Ah, iya, Pak Maman. Nanti kalau ada peziarah yang akan masuk dan searah dengan makam Ibu, tolong di tahan dulu ya, Pak. Saya ingin berdua dengan ibu.”

Pak Maman terlihat sedikit bingung, aku memang tidak biasanya seperti ini. Tapi aku benar-benar butuh sendiri, sekarang.

“Oh, iya, Mbak Naya. Nanti saya sampaikan. Terimakasih untuk makan siangnya.”

“Sama-sama, Pak Maman. Naya masuk dulu, ya,” ucapku mengakhiri percakapan kami, kemudian mengucap salam.

Aku berjalan perlahan dengan langkah gontai, dengan perasaan yang tidak karuan.

Entahlah ... aku seperti kehilangan separuh semangat hidupku. Bayangan pertemuan pertama kami, berputar seperti Roll Film.

***

Lima tahun lalu ... itu adalah saat puncak kebahagiaanku karena berhasil membuat Ayahku bangga dengan berhasil masuk Pesantren dan Sekolah swasta favorit.

Saat itu pula m pertemuan pertamaku dengan Ustadz, yang perlahan menumbuhkan getaran aneh pada diriku, saat aku menikmati masa sebagai siswi yang di semangati langsung oleh kepala sekolah—Ustadz Baha. Dan saat semua hariku terasa lebih bermakna, juga penuh semangat.

Aku mengaguminya—sangat. Mengagumi kepala sekolah yang dingin dan berwibawa, jauh dari skandal pacaran, meskipun beliau menjadi laki-laki pujaan para guru dan ustadzah-ustadzah cantik di sekolah.

***

Langkahku semakin dekat dengan tempat peristirahatan ibu. Aku selalu merapal dalam hati bahwa semua akan baik-baik saja, meski aku sendiri tak yakin.

Setelah sampai di depan pusara ibu, aku membersihkan dedaunan yang berada di sekitarnya. Aku duduk beralaskan tikar kecil yang biasa kubawa dari rumah.

Aku bernapas sejenak sebelum mulai membuka Majmussyarif yang kubawa dari rumah. Setelah sedikit tenang, aku mulai membaca Tahlil dan Surat Yasin, yang terakhir adalah berdoa.

Selesai berdoa dan menutup Majmussyarif, biasanya aku dan Ayah langsung pulang. Tapi kali ini, aku betul-betul butuh teman bicara.

Meskipun aku memiliki banyak sahabat, dan yang terdekat adalah Safira, tapi segala rasa sakitku, kupikir itu bukan konsumsi baik untuk sahabat-sahabatku.

Aku hanya ingin, jika sakit, maka cukup aku saja yang sakit. Sekuat tenaga aku menahan air mata yang siap luruh kapan saja.

“Ibu ... aku telah menepati janjiku pada ibu, untuk tidak menangis di hadapan ayah, setelah ibu pergi. Aku harus selalu membahagiakan ayah, bukan? Aku pun memendam kepedihanku sendiri tanpa bersandar pada siapapun.”

Aku bernafas sejenak—lagi. Mencoba menelan gumpalan menyakitkan dalam kerongkonganku, dengan susah payah.

“Ibu bilang cukup hanya Allah ... tapi ternyata aku tetap butuh tempat berbagi. Ibu tidak pernah menceritakan padaku, bahwa masa remaja, akan sesulit ini. Disini sangat sakit, Bu. Jadi izinkan aku menangis di sini, agar Ayah tetap tidak melihatku menangis.”

Aku mengungkapkan perasaan, yang lazim dicurahkan seorang putri kepada Ibunya ketika menginjak remaja, seolah-olah Ibu benar-benar ada dihadapanku.

“Aku mencintainya, Bu. Ustadz Baha ... aku mencintainya.”

Aku gagal menahan air mataku. Aku gagal berbohong pada diriku sendiri. Karena nyatanya, aku tetap menangis. Nyatanya, aku memang manusia biasa yang tidak selamanya kuat menghadapi kesepian. Aku gadis tujuhbelas tahun yang rapuh.

Kuluapkan segala kesedihan di tempat yang tidak seharusnya. Aku tau ini salah. Tidak seharusnya aku menangis di pemakaman karena dalam agama tidak diperbolehkan.

Tapi aku tidak memiliki siapapun lagi yang terdekat selain Ayah dan Safira. Sedangkan aku tidak mungkin menceritakan kesedihanku pada Ayah. Aku tidak sampai hati. Yang ada dalam hatiku hanyalah, bagaimana caranya agar Ayah terus bahagia.

Aku juga tidak ingin membebani Safira. Ia sendiri memiliki banyak masalah dengan keluarganya.

Setelah lama menangis, aku kembali mencurahkan isi hatiku dengan segenap pikiran kalutku.

“Apa Ibu juga seperti ini saat jatuh cinta pada Ayah? Apa Ibu juga kesakitan?”

Aku tahu itu pertanyaan bodoh, sebab Ibu tidak akan mungkin menjawabnya. Tapi setidaknya, saat ini aku bisa mengatakan apa yang kurasakan, tidak hanya memendam seperti biasanya.

“Bu ... bolehkah aku egois, sekali ini saja? Jika boleh, bolehkah aku menahannya menikah dengan perempuan lain dan menungguku hingga aku menjadi dokter?

Ibu pasti akan marah padaku, kan? Aku juga marah pada diriku sendiri yang menjadi lemah.”

Aku mengusap air mataku dengan kasar. Menghela napas yang terasa berat. Mengusap dadaku yang terasa kian sesak.

***

Bersambung...

Yuk, belajar berbakti dari Nayaka.

NAYAKA (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang