Ini siapa yang bangsat, sih, sebenarnya. Nata atau Satya?🍁
"Halo Meira Casayang." sapa Nata di sebrang telepon.
"Malam Nat."
"Ada apa gerangan nelfon malem-malem? Kangen? Belum puas tadi ketemu di depan rumah?" Memang, yah, meskipun melalui telepon Nata tetap saja cerewet. Kalau tidak tahan batin, mungkin Ira sudah migran.
"Abang nyariin lu, tuh!"
"Abang siapa? Abang tukang bakso?"
"Yah, Bang Satyalah pe'a! Abang gua."
Ira kesal saja, Nata kebanyakan bercandanya, sih.
"Emang ada? Maksudnya udah pulang dari Malang?"
"Iya, ke sini, gih, Mumpung belum malem banget."
"Assiap, cintahhh!"
Belum Ira jawab dengan umpatan sudah dimatikan duluan oleh Nata, masalahnya tuh, di sini ada papa dan mamanya. Kan malu dipanggil begitu.
"Siap, cinta." tuhkan, belum apa-apa mamanya sudah berulah.
"Calon mantu ternyata depan rumah, yah, Ma." Papanya mulai ikut-ikutan.
"Paansi, Ma, Pa."
Papa Ira itu di luarnya saja yang bermuka tegas, aslinya suka godain anak-anaknya.
Ira kadang heran, kenapa semua orang yang ada di hidupnya usil semua? Gak Nata, papa, mama, bahkan abangnya. Bikin kesel tapi ngangenin.
"Assalamualaikum, Bang Sat ... Eh, malem om, tan."
"Walaikumsalam Nat, ayo duduk." Mama Ira mempersilahkan Nata untuk duduk, lucu saja anak tetangganya itu. Mukanya Nata muka-muka orang tidak tahu malu.
Nata yang tadinya heboh malah jadi kikuk sendiri, cowok jangkung itu mengira cuma ada Abangnya Ira, makanya mulutnya manggil Satya begitu saja. Udah, bagus-bagus namanya Satya malah jadi Bangsat.
Ini siapa yang bangsat, sih, sebenarnya. Nata atau Satya?
Ira terkekeh pelan, dalam hati ingin sekali mengejek Nata habis-habisan. Nata menetralkan wajahnya, sebisa mungkin bersikap bodoamat.
Mama Ira pamit duluan, ada acara kesukaannya di tv katanya mau nonton di kamar saja.
"Eh, Ra. Bang sat ... ya mana?"
Pengen banget ditampol, nih, mulutnya Nata.
"Bangsat, bangsat, apaan lu manggil gua gitu?!" Tiba-tiba datang seorang pria yang tingginya sedikit melebihi Nata, badannya tegap, alisnya sedikit tebal, tatapannya tajam tapi terkesan hangat. Ya, walau sebenarnya mata tajamnya itu hanya tipuan, dia tidak sedingin itu.
Namanya Satya Prasetya Adipta, Abang Ira satu-satunya, kuliah semester satu di perguruan tinggi negeri Malang, tinggal bersama neneknya beberapa bulan lalu. Dulunya ketua geng sekolahan, sampai sekarang masih sering turun ke jalanan membantu adik-adik didikannya. Didikan sesat.
"Kalau Satya kebagusan bang. Hehehe, peace." Nata mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk simbol V.
Papa Ira geleng-geleng saja, dia juga pernah muda tapi sekarang ia belum tua.
Papanya Ira menolak dikatakan tua ternyata.
"Itu bangsatnya udah nongol, ngobrol aja dulu, Papa udah ngantuk ini."
Papa Ira juga ikut pamit ke kamar.