Cowok dengan baju yang keluar dari celana dan dasi yang setengah terpasang itu duduk di bangku pojok kanan, menaikkan kakinya ke atas meja, menganggap kelas adalah rumahnya seorang diri.
Sepi, masih pagi. Nata mengacak rambutnya yang belum sempat ia rapikan, terlalu buru-buru ke sekolah. Bosan, ia mengambil benda pipih yang ada di sakunya, membuka salah satu game online yang sedang marak dikalangan anak muda, orangtua, bahkan anak kecil.
Pintu terbuka, menampilkan sosok Bima dengan muka dingin andalannya, tas hitam tersampir di bahu sebelah kanan, dasinya terpasang dengan rapi, namun bajunya keluar dari celana. Cowok itu berjalan ke arah Nata dengan memasukkan tangannya ke dalam saku.
"Tumben, Nat," ucap Bima menyimpan tasnya di bangku sebelah Nata.
Nata berdecak kesal, menyimpan handphonenya ke saku, cowok itu kalah dalam bermain game.
"Tumben apa?"
"Datang pagi," jelas Bima."Diseret Ira tadi," ucapnya terlihat lesuh, sebelum jam enam tadi bunda Nata membangunkannya, mengatakan ada Ira menunggu di ruang tamu.
Bima mengangguk, mengerti.
"Eh, Bim," ujar Nata mendekat ke Bima. "Lu ngerasa nggak kalau panu-panu itu lagi ngedeketin cewek gua?" lanjutnya.
Bima yang didekati oleh Nata menggeser duduknya, tidak nyaman berdekatan dengan Nata, apalagi di kelas hanya mereka berdua, Bima tidak ingin ada orang yang berpikir macam-macam.
Melihat itu Nata berdecak, menjauhkan tubuhnya dari Bima. "Gua nggak homo, Bim!"
Bima mengangkat bahu, tidak peduli. "Vano maksud lo?"
"Ya, Iyalah! Tuh, orang tiap hari ngajakin Ira jalan, pake alasan ke pameranlah, urusan eskullah, dia pikir ada gitu yang ngerjain kerjaan eskul berdua? Anak-anak yang lain 'kan bisa, nggak cuma Ira!" ucap Nata menggebu-gebu, dari matanya terpancar kekesalan yang siap meledak kapan pun cowok itu mau."Lu percaya nggak sama Ira?" tanya Bima santai.
"Gua percaya sama Ira tapi nggak sama si panu!"
Bima menggangguk, tidak ada tampang ikut prihatin di wajahnya, tetap dingin seperti biasa.
"Lu merasa tersaingi?"Nata berdecak, dalam hati ia sedikit bimbang, bagaimana pun Vano tidak bisa diremehkan begitu saja, meskipun posisinya saat ini, Ira adalah kekasihnya.
Bukankah yang menikah saja bisa cerai apalagi yang hanya sekedar pacaran?
Nata juga memikirkan Vano, apa cowok itu akan benar-benar mengambil Ira darinya? Setelah apa yang mereka bicarakan di rooftop kemarin?
"Sejak kapan Nata jadi nggak percaya diri gini?"
"Nggak tau, deh, Bim, gua ngerasa nggak nyaman sama kehadirannya panu itu." Mendadak suara Nata melemah, hatinya was-was.
"SELAMAT PAGI SAHABATQU!" Bima yang ingin membalas kalimat Nata malah memejamkan matanya beberapa saat, memedam rasa sedikit sakit di telinganya.
Gio kalau teriak bisa mengalahkan toa mushollah."Apa-apa?! Nggak pernah liat orang ganteng teriak?!" Gio melotot ke segala sisi kelas, kesal karena suara merdunya dianggap cempreng dan merusak pendengaran.
"Kenapa lu?" tanya Gio pada Nata, heran.
"Kenapa muka seorang Nata mendadak kayak orang pengen banget dikasihani?" lanjutnya."Sakit dia." Bima menjawab, tidak ingin Gio semakin menganggu Nata.
"Lu juga bisa sakit, Nat?!"
Nata berdecak, menyingkirkan tangan Gio dari keningnya. "Apaan, sih!"