Dering bel pulang sekolah menarik kesadaran Lana ke permukaan. Ia mengerjap menelaah keberadaannya dan menyadari ia terbaring di UKS--lagi. Ia mencoba bangkit dari tidurnya dan meringis merasakan nyeri di bagian ulu hatinya, menyadarkan dirinya bahwa apa yang tadi terjadi bukanlah halusinasi akibat demamnya.
Ia menatap kosong tirai UKS, membiarkan kelengangan ruangan itu menemaninya menyortir pikiran. Lana benar-benar bingung dengan perilakunya belakangan ini, rasanya sudah seperti bukan dirinya. Apalagi jika sedang berada di dekat Yan, ia merasa seakan bisa memberikan dunia hanya untuk melihat Yan bahagia. Ia mendengus menyadari pikiran itu. Tentu dia menyayangi Yan sebagai salah satu orang terdekatnya, sahabatnya, adiknya, tapi memberikan dunia untuk kebahagiannya itu agak di luar konteks.
Tirai UKS disibak memperlihatkan si anak lelaki jangkung yang tengah mengisi pikirannya. Ia berdiri ragu sejenak di sana sambil menenteng tas milik Lana. Mata Lana seketika terbelalak mendapati sobekan dengan darah segar di ujung bibir Yan.
"Hei apa begundal tadi yang melakukan itu padamu?!" sergah Lana sudah hendak beranjak dari kasur.
"Tetap di tempatmu," ujarnya dingin membuat Lana tidak berkutik. Yan pun beranjak dan menaruh tas Lana di kasur dekat kakinya. Ia menempatkan diri duduk di kursi yang ada di samping ranjang UKS dengan sedikit kasar seperti sedang kesal.
"Kudengar kamu lagi sakit?" tanyanya menatap Lana tanpa tersenyum.
Yan jarang sekali marah, tapi sekalinya marah tindak tanduknya langsung terbaca. Lana tidak paham kenapa Yan marah, ia merasa tidak melakukan kesalahan bahkan menolongnya dari situasi genting. Ia tidak menyukai suasana seperti ini dan mencoba untuk meringankannya dengan melontarkan candaan.
"Tenang saja, aku udah mendingan kok, aku kan kuat. Demamku juga kayanya udah turun nih," jawab Lana sambil tersenyum menenangkan sembari meraih tangan Yan untuk ditaruh ke dahinya. Lana terkejut dengan respon Yan yang menyentakkan tangannya menjauh.
"Kamu kenapa sih Yan?"
"Yang ada itu kamu yang kenapa Lan?!" sergah Yan yang makin membuat Lana kebingungan.
"Hei tenang, apa otakmu tergeser gara-gara dipukul si begundal itu?" Lana masih mencoba untuk memecah suasana aneh ini berusaha tidak terpancing amarah.
"Cukup bercandanya Lana! Bahkan kamu nggak ada niatan minta maaf atas apa yang udah kamu sebabkan?" hardik Yan.
"Apa maksudmu?" Lana mengernyit mencerna perkataan Yan, kepala dan ulu hatinya kembali berlomba berdenyut menyebalkan membuatnya meringis.
Yan hanya memutar bola matanya muak, "Ah sudahlah, aku cuma mau bilang berhenti terlalu mencampuri urusanku!"
Emosi Lana mulai terpancing ke permukaan, "Mencampuri urusanmu?" entah kenapa perkataan itu begitu menyinggung hatinya, "Yang kulakukan hanya menolongmu dan ini balasan yang kamu berikan?" Lana tak bisa menahan dirinya untuk tidak tergelak sinis kepada Yan.
"Kamu hanya membabi buta menyerang Kak Reza tanpa tau dimana letak masalahnya, itu yang kamu sebut menolong? Yang ada kamu memperparah keadaan kamu tau?!" suara dalam Yan ketika marah akan membuat siapapun gentar, tapi tidak dengan Lana. Ia merasa makin terbakar api amarah. Lana bukan seseorang yang pandai mengendalikan tempramennya, tapi ia berusaha mati-matian meredamnya dengan mengepalkan kedua tangannya erat-erat mengetahui Yan adalah lawannya kali ini.
"Apa aku harus tau letak masalahnya dulu jika sudah melihatmu diintimidasi-"
"Aku bisa mengatasinya!" selanya makin membuat Lana kehilangan kontrol.
"Mengatasi bokongmu itu, padahal jelas kamu hampir dihabisi mereka begitu," Lana membuang muka sambil tertawa mencemooh.
Yan sudah tidak tahan. Ia beranjak dari duduknya dengan kasar, membuat kursinya terjengkang jatuh mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.
"Berhenti jadi egois dan urusi saja masalahmu sendiri Kelana!" Yan melangkah pergi meninggalkan Lana sambil mengacak rambutnya frustrasi.
Sepeninggalan Yan, Lana merasa emosinya menguap begitu saja. Ia membuang napas yang sejak tadi bercokol di paru-parunya. Diusapnya wajah dengan kedua tangannya mencoba menghapus segala amarah yang tersisa.
Astaga Lana, apa yang baru saja kamu lakukan? Sesalnya pada diri sendiri.
Itu merupakan pertengakaran besar pertama mereka setelah sekian lama. Lana tidak tahu apa yang harus dilakukan jika sudah seperti ini. Ia tidak berani membayangkan esok seperti apa yang akan dilaluinya. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya mengintrospeksi dirinya.
Lana membiarkan dirinya dikuasi emosi itu, yang ia sendiri merasa asing tentangnya. Sebagai pembelaan, ia menyalahkan demamnya yang berperan sebagai penghambat akal sehatnya dalam menentukan baik tidaknya perbuatannya. Ia berakhir mengacak rambutnya sendiri kesal atas kebodohannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/209540648-288-k878739.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocently Evil || Side Story [FIN]
Teen FictionAn Innocently Evil's side story. Berhubung ini side story, jadi disarankan untuk membaca dulu Innocently Evil, terimakasih 🌚 And somehow this book is basically my selfish way to release my inner YeonBin, so I apologize in advance 😌 Start: 10/01/20...