Sambil berusaha tetap tenang, Lana merogoh sakunya mengeluarkan ponsel. Ia memainkannya sambil kembali mencuri pandang ke si gadis. Ia sudah melupakan tujuan utamanya datang ke perpustakaan dan sibuk penasaran dengan gadis estetiknya ini. Lana mengenali cukup banyak cewek-cewek Aksara yang diam-diam atau bahkan terang-terangan mengaguminya, dan merasa gadis di depannya ini bukan salah satu dari mereka. Ia benar-benar asing.
Dari jarak yang cukup dekat ini, Lana bisa melihat judul buku yang dibaca si gadis. Ia bersorak dalam hati ketika merasa familiar dengan judul buku yang tengah dibaca. Lana pernah iseng menelusuri rak koleksi buku Yan dan membaca salah satunya. Tak menyangka buku yang sama saat ini ada di tangan si gadis asing.
"Little Prince ya?" pertanyaan Lana yang tiba-tiba itu mengalihkan perhatian si gadis asing.
Matanya membulat antusias dan membalas, "Kamu tahu buku ini?" Lana tak kuasa menahan senyumnya melihat betapa menggemaskannya wajah antusias si gadis.
"Iya, aku pernah baca dulu sekali," jawabnya sambil tersenyum tak kalah manis.
"Kamu suka baca-baca buku?" tanya si gadis kembali.
Lana berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Mm... Lumayan."
"Wah, kalau kamu emang suka baca, gabung aja dengan klub membaca kami," undang si gadis, "Minggu depan kami akan diskusi tentang buku ini, kalau kamu mau kamu bisa langsung ikut serta," ia mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum cerah.
Bagus. Lana begitu bangga pada dirinya yang bisa memulai percakapan yang mulus ini. Entah mengapa ia tak bisa berhenti tersenyum, ia hanya bisa merasakan kegembiraan membuncah di dadanya hingga tanpa pikir panjang mengiyakan undangan si gadis asing. Klub membaca, Lana bahkan tidak mengetahui eksistensi klub itu di SMA Aksara, tapi anggap saja ini salah satu usahanya untuk lebih mengenal si gadis asing yang membuatnya tertarik ini.
"Oh iya, kita belum kenalan. Kenalin aku Kelana Raya, panggil aja Lana," Lana mengulurkan tangannya untuk dijabat. Alih-alih jabatan tangan, ia malah mendapati wajah terkejut si gadis asing membuatnya heran.
"Ah, sa-saya Naya, Naya Alana," tiba-tiba si gadis menjadi kikuk dengan sendirinya. Lana menahan senyum gemasnya sembari menelengkan kepalanya meminta penjelasan.
"Maaf kak, aku nggak tau kalau kakak senior," ujarnya sambil menunduk malu membuat Lana terkekeh.
"Oh, kamu tau aku senior?" tanyanya menggoda si gadis. Lana bisa melihat semburat merah di pipi si gadis tanda betapa malunya ia.
Naya bodoh. Ia merutuki dirinya dalam hati. Tentu saja ia tahu Kelana Raya. Andai saja ia bersama salah satu teman sekelasnya, temannya pasti bisa membantunya mengenali si cowok dengan 1001 rumor miring itu. Mata tajamnya, bekas tindik di telinganya dan wajah culas itu, Naya seakan baru bisa melihat segalanya setelah ia menyebutkan namanya. Naya baru sempat mendengar berbagai desas desus tentang kakak kelasnya itu tanpa tahu yang mana orangnya.
Tapi kalau boleh Naya berpendapat, sedari tadi ia tidak merasa cowok di depannya ini mengintimidasi seperti apa yang ia dengar. Matanya memang tajam, tapi tidak tampak culas, ditambah senyum manis yang dari tadi mewarnai wajah rupawannya. Oh, Naya sadar poin yang dibicarakan siswi kelasnya bahwa Kelana punya pesonanya sendiri mengenyampingkan 1001 rumor miringnya. Naya tidak bisa bohong kalau senyumannya cukup memabukkan.
Ia kembali merasa malu akan pembicaraannya yang sudah sok tau tadi. Lagi-lagi ia kelepasan jika mengobrol tentang hal-hal yang disukainya. Dan kenapa harus di depan Kelana Raya? Ah, mau ditaruh mana mukanya ini.
🦊🦊🦊
Lana menguap lebar sambil menggaruk perutnya ketika turun ke lantai dasar. Ini akhir pekan dan ia tidak menyangka bangun sepagi ini, bahkan mendapati kedua orangtuanya masih sibuk sarapan di meja makan.
"Astaga bunda, lagi ada bencana apa sih kok anak kita sudah bangun jam segini di hari Sabtu?" gurau ayah Lana ketika anaknya itu bergabung dengan mereka di meja makan.
"Ayah lebay deh, emang Lana nggak boleh sarapan pagi pas weekend?" ibunya hanya tersenyum maklum menyimak percakapan mereka.
"Masalahnya kemungkinannya itu 1:1000 Lan, biasanya kamu masih ngebo jam segini gegara nge-game semalaman. Nah ini?" Lana hanya mendengus geli atas apa yang diucapkan ayahnya.
Weekend memang adalah waktunya Lana bermalas-malasan di kamar kalau sedang tidak ada kegiatan lain. Tapi hari ini ia terbangun lebih awal dan tidak bisa kembali tidur karena memikirkan sesuatu.
"Kok ayah rapi banget weekend gini?" tanyanya di sela kunyahan sandwich-nya.
"Iya, ada meeting mendadak sama klien. Males banget, tapi kliennya banyak mau. Jadi terpaksa deh," jelas ayahnya. Beliau pun menyesap kopi dan menyudahi sarapannya, "Ayah berangkat dulu ya, jagain bunda di rumah, jangan nge-game mulu," ayahnya bangkit dari kursi sambil mengacak rambut putra semata wayangnya itu. Beliau mengecup kening istrinya dalam dan akhirnya meninggalkan mereka berdua untuk mencari nafkah.
Rumah kembali lengang hanya dengan keberadaan Lana dan ibunya. Ia masih sibuk mengunyah sandwich dan menenggak susu sementara ibunya sudah selesai dengan makanannya. Beliau tidak beranjak dan masih menatap putranya yang tidak berbentuk di pagi hari itu.
"Kamu lagi mikirin apa sih Lan?" tanya ibunya memecah keheningan.
"Hm? Emang Lana kenapa?"
"Kok malah balik tanya sih, kan kamu yang harusnya tau," Lana hanya tersenyum singkat sebagai balasan.
"Hmm... Bunda tebak kamu lagi berantem sama Yan ya?" mata Lana membulat mendapati tebakan ibunya benar seratus persen. Ibunya tertawa geli melihat ekspresi anaknya yang kaget dengan mulut penuh sandwich.
"Duh merinding, kayanya Lana punya ibu cenayang," ujarnya sambil melakukan gestur merinding dengan berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocently Evil || Side Story [FIN]
Teen FictionAn Innocently Evil's side story. Berhubung ini side story, jadi disarankan untuk membaca dulu Innocently Evil, terimakasih 🌚 And somehow this book is basically my selfish way to release my inner YeonBin, so I apologize in advance 😌 Start: 10/01/20...