Sembilan.

112 36 0
                                    

"Jadi bener?" tanya ibunya memastikan.

"Kok bisa tahu si bun?" Lana malah balik tanya penasaran.

"Habis dari kapan hari kamu lesu mulu, barusan aja nggak tau udah berapa kali kamu hela napas berat, terus ngapain coba kamu bangun pagi weekend gini?" jelas ibunya panjang lebar.

"Ya Ampun, Lana kaya gitu bun?" ia malah berlagak kaget dengan tingkahnya sendiri, "Terus kenapa Yan?" lanjutnya.

"Selama ini, yang bisa bikin lesu kaya gitu ya baru Yan," dengan dramatis, Lana pura-pura menangis sebagai balasan.

"Apa Lana beneran belok ya bun?" ibunya menatap gemas ke putra semata wayangnya itu. Beliau tau betul perangai anaknya yang memang suka berceloteh aneh tentang banyak hal, tapi pertanyaannya kali ini benar-benar di luar ekspektasi beliau.

"Gimana-gimana, cerita sini ke bunda," pintanya dengan sabar mengahadapi anaknya yang suka sok dramatis ini.

Lana selalu suka bercerita dengan ibunya. Beliau bukan orang yang gampang menghakimi sesuatu dan lebih memilih untuk mendengar dulu cerita lengkapnya. Ketika bercerita pada ibunya, Lana bisa dengan mudah membahas masalah apa saja tanpa takut dimarahi atau dibilang salah. Ibunya selalu terbuka akan banyak hal dan seakan tau solusi yang terbaik. Di saat seperti inilah Lana mengingat bahwa ibunya adalah lulusan Ph.D Psikolog di Kanada. Ia sangat bersyukur punya ibu yang bisa jadi psikolog pribadinya.

"Iya, Lana kapan hari berantem sama Yan, gara-gara Lana nolongin dia yang mau dikeroyok kakak kelas. Tapi masa setelah itu Yan marah sama Lana karena katanya Lana terlalu ikut campur dan bilang Lana egois. Wah..." ceritanya dengan menggebu kembali mengingat betapa sebalnya ia waktu itu.

"Yan nggak bilang kenapa ngatain kamu egois?"

"Nggak, dia langsung pergi gitu aja," balasnya muram.

"Belakangan kamu sendiri ngelakuin hal kaya gimana sama Yan?" Lana jadi berpikir bagaimana rancunya perilakunya belakangan.

"Nggak tau bun, Lana sendiri suka plin plan. Kalo lagi deket Yan bawaannya pengen jadi yang paling diandelin sama dia, maunya Lana yang paling tau soal Yan. Tapi giliran udah jauh pikiran itu hilang," ia menggusak rambutnya kesal akan pikiran-pikiran anehnya belakangan.

"Terus kalau kaya gitu, pas kamu lagi sama Yan, kamunya gimana?"

Lana mencoba mengingat apa yang dilakukannya pada Yan dan merasa seperti dihantam mobil ketika menyadarinya, "Lana suka maksa Yan untuk cerita apapun, dari hal kecil sampai yang terlalu privasi, pokoknya Lana harus tau semuanya. Lana juga jadi overprotektif sama dia, makanya Lana nggak suka pas ada yang gangguin dia," ia menjeda penjelasannya dan menghela napas, "Padahal Lana juga nggak tau dia emang bener lagi digangguin atau nggak," Lana mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada penuh penyesalan.

"Jadi?" ibunya menaikkan sebelah alisnya menunggu putranya menarik simpul dari ceritanya itu.

Lana kembali menghela napas sebelum mengatakan apapun. Sebenarnya sudah sejak kapan hari ia merasa bersalah tapi enggan mengakuinya. Dengan bercakap dengan ibunya seperti ini, ia akhirnya mengakui dengan lapang dada bahwa memang ia bersalah dan tau benar dimana letak kesalahannya.

"Lana yang salah," ia memandang ibunya dengan mencebik yang dibalas jiwitan lembut di pipinya.

"Jadi Lana nggak belok bun?" ibunya mendengus akan pertanyaan anaknya yang ajaib itu.

"Itu sih kamu yang tau Lan," balasnya sambil memutar bola matanya, "Tapi kalo bunda tebak lagi, kamu nggak belok sih. Malah kayanya lagi kasmaran," untuk yang kali ini Lana membelalak dengan serius.

"Wah, kayanya bunda ganti praktek aja jadi cenayang deh," dengan dramatis Lana beranjak dari kursinya dan pergi menyusuri anak tangga untuk kembali ke kamarnya. Ia menggosok kedua bahunya menghentikan bulu kuduk yang meremang akibat ibunya, "Dijamin klinik bunda bakal antre sampai gang depan," ujarnya di tengah perjalanannya kembali ke kamar yang hanya dibalas kekehan geli dari ibunya.

Sekembalinya Lana ke kamar, ia mengecek ponselnya. Beberapa pesan teks masuk dari teman-temannya yang mengajak main nanti malam, selebihnya pesan teks dari nomor tidak dikenal yang Lana tebak dari cewek-cewek SMA Aksara yang nekat mencoba mendekatinya.

Selama ini sudah banyak cewek yang seperti itu, bahkan sampai menembaknya yang berakhir ditolak mentah-mentah oleh Lana. Seorang Kelana bukanlah orang belok seperti yang dikhawatirkannya. Hanya saja ia masih butuh banyak ruang untuk kebebasannya. Menjalin hubungan dengan seseorang artinya ia mengorbankan separuh kebebesannya untuk orang itu. Ia belum bisa, ia masih terlalu egois. Pernah sekali ia mencoba untuk membangun sesuatu, tapi runtuh di tengah jalan dengan sangat buruk. Bahkan Lana masih sering mengernyit jika mengingat hubungan serius terakhirnya.

Akibat dari perilakunya itu, rumor baru tercipta mengatakan bahwa ia adalah fuckboy dengan puluhan mantan atau bahwa dia adalah seseorang yang belok.

Lana suka tidak habis pikir dengan orang yang menciptakan rumor tentangnya, kenapa ada saja idenya dan seluruhnya ia rasa sangat konyol dan tidak berdasar. Anehnya lagi, banyak yang memercayai rumor-rumor yang melibatkan dirinya itu hingga terbangunlah reputasi seorang Kelana Raya yang seperti sekarang.

🦊🦊🦊

Setelah menghabiskan waktu luangnya dengan rebahan, akhirnya Yan memutuskan untuk keluar mencari angin. Biasanya akhir pekan seperti ini ia habiskan dengan bermain game bersama Lana, tapi karena mereka belum baikan jadilah Yan bingung hendak melakukan kegiatan apa.

Ketika turun ke lantai dasar, ia mendapati keluarganya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hari ini formasinya hampir lengkap kalau saja ada kakaknya, Rendra. Ayahnya sedang sibuk mengurus bonsai kesayangannya di taman depan sedang ibu dan Kak Retha sibuk di pantry melakukan eksperimen dessert seperti biasanya.

"Kok kamu baru keluar kamar jam segini Yan?" tanya Kakaknya sembari menguleni adonan di depannya. Biasanya Yan memang sudah mulai berkegiatan di pagi hari, atau paling tidak keluar kamar sejak tadi. Tapi hari ini ia bingung mau melakukan apa.

"Nggak ada acara nge game bareng Lana?" ibunya pun turut menimpali.

"Emang temen Yan cuma Lana?" jawabnya sedikit ketus sembari menghampiri pantry. Ia mengecek makanan macam apa yang tengah mereka buat tapi tidak menahu setelah melihat meja yang berantakan.

"Yan pergi dulu ya mah, kak," pamitnya kemudian beranjak pergi dari pantry.

"Ke rumah Lana?" tanya kakaknya polos yang dibalas Yan dengan jengkel.

"Enggaak! Nggak tau kemana pokonya keluar. Yan bosan di rumah." Jawabnya sambil mengacak rambut kesal. Ia berlari kecil menuju garasi dan asal berpamitan dengan ayahnya. Ibu dan kakaknya hanya saling pandang melihat perilaku aneh si bungsu hari itu.

Innocently Evil || Side Story [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang