Semenjak pertemuan Yan dengan Naya di belakang sekolah, Yan dipenuhi rasa penasaran. Namun setelah pertemuan keduanya di waktu dan tempat yang aneh atas permintaan Naya, entah kenapa Yan merasa marah. Bagi Yan, Naya selalu menarik dengan segala kemisteriusannya. Tapi untuk kali ini, Yan tidak bisa menerima mentah-mentah apa yang dijelaskannya pada dini hari itu.
Pertanyaan dan keraguan tak hentinya bercokol dalam pikirannya meminta kejelasan. Satu-satunya penjelasan yang ia dapat hanya berasal dari teman sekelasnya yang hampir tidak dikenalnya. Ia tidak mau percaya karena seakan dia setuju dirinya adalah penyebab orang yang disayanginya jatuh sakit tanpa sebab. Konyol dia bilang.
Hari-hari setelahnya Yan habiskan dengan mendongkol. Tiap kali berpapasan dengan Naya, yang ia ingat hanya penjelasan konyolnya yang membuatnya hanya bisa menatap dingin Naya. Ia tidak bermaksud menjadi orang jahat atau bagaimana, hanya saja apa yang didengarnya terasa terlalu di luar nalar.
Lana sendiri menyadari perilaku adik kelasnya yang tiba-tiba jadi uring-uringan sekali. Belum, ia belum mendengar satu katapun dari Yan mengani apa yang membuatnya seperti itu. Meskipun ia penasaran setengah mati, ia sudah belajar dari pertengkaran mereka terakhir kali. Jadilah ia memberikan waktu untuk Yan berpikir dan menyelesaikannya sendiri.
Bukan Lana kalau pikiriannya tidak melayang kemana-mana. Selama ia membiarkan Yan berkutat dengan masalahnya itu, Lana mencoba menebak apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Pertama, pertemuannya dengan Naya di belakang sekolah. Tapi kenapa? Lana belum dapat kejelasannya. Kedua, Mala yang sakit hingga harus diopname. Oh, untuk yang ini ia sendiri tidak habis pikir. Terakhir kali ia tau Mala masih sehat dan esoknya sampai sekarang keadaannya memburuk begitu cepat. Ia malah menemukan pertanyaan lain, apa mungkin mereka bertiga saling terhubung dengan sesuatu?
Lana menyudahi sesi berpikirnya dengan bersiul rendah. Sudah, berhenti memikirkan hal yang tidak perlu dan biarkan mereka menyelesaikan masalah itu sendiri, ujarnya pada diri sendiri.
🦊🦊🦊
Yan mengernyit mendapati pesan teks dari Naya yang mengingatkan akan hari apa hari itu. Ia juga melampirkan alamat rumahnya untuk dikunjungi. Yan menghela napas meragu akan segalanya. Pasalnya, keadaan Mala tidak ada perkembangan sama sekali. Apa tidak apa-apa memercayai Naya dan mengikuti cara mainnya?
Yan keluar dengan sepedanya pada pukul sembilan malam tanpa pamit kepada kedua orangtuanya yang sudah masuk ke kamar. Hanya berdiam diri di rumah makin membuat pikirannya berkelana liar dan selalu berakhir pada tawaran Naya. Tidak boleh begini, ia butuh udara segar untuk sedikit mengalihkan pikirannya.
Setelah satu jam lamanya ia berputar-putar tanpa arah, ia terhenti di depan sebuah rumah bernuansa rustic. Pagarnya tidak terkunci seperti biasa membuatnya bisa masuk dengan mudah. Yan mengetuk pintu depannya tiga kali tanpa mendapat respon apapun. Selanjutnya ia mengetuk lebih keras hingga akhirnya seseorang menjawab dari dalam.
"Yaa sebentar..."
Setelah beberapa saat, pintu pun terbuka menampakkan Lana dengan busana siap perginya--mengenakan turtle neck dan leather jacket hitam dipadukan dengan jeans belelnya. Tak lupa rentetan tindik perak--dua di kanan dan tiga di kiri--menggantung apik di daun telinganya. Berbanding terbalik dengan tampilannya yang sangar, parfum beraroma coklat lembut menguar di sekitarnya.
"Ya Ampun Yan, kenapa nggak bilang kamu mau ke sini?" tukasnya mendapati Yan sudah ada di depan pintu rumahnya tanpa pemberitahuan.
"Ah, mau pergi ya? Nggak apa-apa aku balik aja," Yan sudah hendak berbalik pergi tapi dicekal oleh Lana.
"Hei tunggu, kalau kamu udah dateng tanpa ngasih tau gini pasti ada sesuatu. Ayo masuk," tanpa menunggu persetujuan, Lana menyeretnya masuk dan mendudukkannya di ruang tengah.
Yan mendapati rumah itu sepi sekali malam ini membuatnya bertanya, "Om sama Bunda dimana?"
"Lagi ada acara di luar kota," jawab Lana selagi pergi mengambil minum dari kulkas.
"Pantesan, pasti mau clubbing?" tebak Yan yang mulai menyandarkan punggungnya di sofa. Rasa lelah setelah berputar-putar tanpa arah akhirnya menggelayuti otot-ototnya.
"Yap, mumpung Ayah sama Bunda lagi nggak di rumah," balas Lana sambil menyeringai. Ia meletakkan satu botol cola dan dua gelas kosong di atas meja.
"Ada air putih?" Lana mengernyit sebal yang dibalas senyuman miring si adik kelas.
Melihat Yan tampak kelelahan akhirnya ia mengalah dan mengambilkan apa yang diminta, "Dasar banyak mau!" cibirnya yang dibalas kekehan Yan.
Kadang jika melihat Lana yang seperti sekarang, Yan selalu berandai dalam hati. Jika saja mereka tidak saling mengenal sejak TK dan menjadi teman tumbuh selama ini, apa mungkin terpikirkan oleh Yan untuk menjadikan seorang Kelana Raya menjadi salah satu sosok terdekatnya.
Mereka mungkin teman tumbuh, tapi mereka tidak tumbuh dengan mencerminkan sifat masing-masing. Mereka berdua bertolak belakang bagai langit dan bumi bahkan api dan air. Kalau Yan benar-benar mencerminkan seorang anak yang pendiam dan pemalu, yang lebih memilih menghabiskan waktu membaca atau bermain game daripada pergi keluar bersama teman, maka Lana adalah kebalikannya.
Lana adalah kupu-kupu sosial yang lebih memilih menghabiskan separuh waktunya bersama seseorang. Untuk ukuran anak SMA, kenalan Lana terdiri dari berbagai kalangan mulai dari teman sehobi, teman yang didapat ketika ia mengikuti lomba hingga mungkin teman bermain gundu. Jika saja di SMA Aksara dia tidak punya reputasi menyeramkan dengan 1001 rumor miring tentangnya, mungkin seluruh SMA Aksara adalah temannya. Bahkan dengan adanya rumor miring itu, Lana berhasil setidaknya membuat satu angkatannya percaya bahwa ia tidak seseram rumor yang beredar.
Dan untuk kebiasaan clubbing Lana, Yan yang baru-baru ini mengetahuinya saja sebenarnya tidak terlalu heran. Yan tahu Lana adalah makhluk sosial yang aktif, keramaian adalah pelepas stres terampuhnya. Sesekali menyelinap ke club tentu hal yang lumrah. Lana meminta Yan untuk menyimpan rahasia ini dari kedua orangtuanya dengan berjanji tidak melakukan hal bodoh saat clubbing. Yan yakin Lana punya cukup otak untuk menepati janjinya, jadi ia mengiyakan permintaannya.
"Nih," Lana memberikan segelas air putih yang langsung ditenggak habis oleh Yan.
Lana menempatkan diri di sofa sebrang Yan dan menatapnya lekat, siap akan cerita macam apapun yang hendak diberitahukan adik kelasnya itu.
"Kamu beneran nggak apa-apa nggak jadi pergi?" yakin Yan setelah meletakkan gelas kosongnya.
Lana membalas dengan memutar bola matanya, jengah karena Yan tidak langsung ke inti pembicaraan.
"Beneran kamu mau aku pergi dan ninggalin kamu yang lagi nggak berbentuk ini?" balas Lana sambil menaikkan satu alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocently Evil || Side Story [FIN]
Teen FictionAn Innocently Evil's side story. Berhubung ini side story, jadi disarankan untuk membaca dulu Innocently Evil, terimakasih 🌚 And somehow this book is basically my selfish way to release my inner YeonBin, so I apologize in advance 😌 Start: 10/01/20...