Satu.

607 49 1
                                    

Tidur lelap Lana diinterupsi oleh suara kencang dentuman pintu yang ditutup. Cahaya mentari merangsek masuk ketika tirainya disibak lebar oleh seseorang, membuat keningnya berkerut sambil masih menutup mata. Ini cara membangunkan yang paling ia benci, dan hanya seseorang yang berani melakukannya. Bahkan ibunya tidak pernah melakukan hal sekejam itu. Jika seperti ini, rasanya matanya bisa terbakar oleh sinar matahari.

"Tutup tirainya sialan," gumamnya sambil menarik selimutnya.

"Tidur lima menit lagi dan kamu bakal kesiangan ke sekolah," balas suara berat si penyingkap tirai.

Setelah menggeram dan meregang beberapa saat, Lana pun bangkit duduk masih sambil memicingkan matanya. Ia mendapati Yan berdiri di depan jendela lebarnya, mengenakan boxer pacman dan kaus hijau polos dengan sikat gigi di mulutnya. Handuk disampirkan begitu saja di atas rambut basahnya yang terlihat segar. Ia kembali memasuki kamar mandi untuk berkumur sementara membiarkan Lana mengumpulkan nyawanya.

Dengan langkah diseret, Lana mengambil handuk yang disampirkan dekat kamar mandi. Dia masih merasa kurang tidur setelah semalaman suntuk mengajari Yan mengenai rumus-rumus aljabar untuk UTS nanti. Dalam hati ia selalu berjanji untuk menolak Yan ketika ia meminta untuk diajari, yang hanya berakhir dengan dilanggarnya janji itu. Pasalnya Yan selalu datang dengan persiapan, seperti membawakan makanan yang disukainya bahkan barang yang tengah diinginkannya. Pun tanpa membawakan apa-apa Lana tetap akan mengajarinya karena itu Yan. Tapi esoknya ia akan menyesali pilihannya itu.

Lana bergantian masuk ke kamar mandi setelah Yan keluar. Seusai Yan mengeringkan rambut dan memakai seragamnya, ia turun ke lantai dasar menemui Ibu Lana yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

"Pagi Yan, gimana belajarnya?" sapa Ibu Lana.

Yan tersenyum sebelum membalas, "Lancar Bun, Lana emang guru terbaik yang bisa Yan andalkan." Mereka berdua terkekeh bersama.

Yan memang sering menginap di rumah Lana, apalagi di hari-hari mendekati ujian seperti ini. Ia sendiri sudah sangat dekat dengan keluarga kecil Lana yang hanya beranggotakan tiga orang itu. Bahkan Yan sudah seperti salah satu anggota keluarga mereka.

Ketika Ibu Lana masih sibuk menggoreng sosis di pantry, Yan menempatkan diri di salah satu kursi di meja makan. Ruang makan terasa lengang pagi itu karena hanya ada mereka berdua. Ayah Lana yang biasanya turut bergabung, hari itu tengah berada di luar negeri untuk mengurus tender yang dimenangkan oleh perusahaannya. Beliau memang seorang arsitektur ternama yang sering mengerjakan proyek besar di dalam maupun luar negeri, membuatnya jarang berada di rumah.

Lana yang akhirnya sudah siap memulai harinya turut bergabung ketika Yan sudah menghabiskan separuh english breakfast-nya. Ia duduk di kursi sebrang Yan yang disambut dengan acakan rambut hangat dari ibunya yang duduk di sampingnya. Lana masih mencoba mengerjapkan matanya menghilangkan rasa kantuk yang bergelayut di kelopak matanya sembari menyantap sarapannya. Ia heran kenapa Yan bisa tampak segar meski sama-sama begadang semalaman untuk belajar.

"Kamu berangkat naik sepeda Yan?" tanya Lana memecah keheningan.

"Iya, mau naik apa lagi?" jawabnya sambil mengunyah sosisnya.

"Kenapa nggak bareng aku aja?" tawar Lana.

"Naik Ducati-mu itu?" Yan berhenti sebentar untuk menelan makanannya, "Dan memberikan makanan segar pada penyebar rumor bahwa kita ini pasangan gay? Aku sih ogah," lanjutnya sambil memutar bola matanya. Lana dan ibunya terkekeh sebagai balasan.

"Kupikir kamu nggak peduli sama rumor itu," ujar Lana masih tersenyum.

"Emang nggak, tapi lebih baik lagi kalau rumor itu musnah saja," Yan mencebik sambil menenggak susu almond miliknya.

"Bunda beneran nggak habis pikir ada rumor macam itu, dan kalian yang jadi tokohnya," Ibu Lana menimpali masih sambil tersenyum geli.

Lana jarang menyimpan cerita dari ibunya, sehingga mereka bisa membahas banyak hal dengan bebas tanpa meninggalkan siapapun dalam percakapan. Apalagi masalah rumor paling konyol yang pernah Lana dengar tentang dirinya itu.

"Asal Bunda tau aja, rumor tentang Lana itu ada segudang dan kebanyakan rumor negatif. Itu semua gara-gara tampang Lana yang sok garang," adu Yan pada Ibu Lana yang lantas mengundang jitakan dari Lana ke kepala Yan. Kemudian tawa menghiasi meja makan hari itu, sebuah rutinitas pagi hari yang yang pantang untuk dilewatkan.

"Yan udah selesai nih, pamit dulu ya Bun, Lan," Yan mengusap mulutnya dengan tisu dan mecium tangan Ibu Lana untuk berpamitan. Diacakanya rambut anak laki-laki yang sudah dianggapnya anak sendiri itu dengan sayang.

"Hati-hati Yan," pungkasnya.

"Salim sama kakak juga dong," Lana mengulurkan tangannya pada Yan yang balas mengerutkan kening.

"Ogah!" serunya sambil memeletkan lidahnya dengan jail dan langsung berlari menuju pintu depan. Lana hanya melihatnya pergi sambil memutar bola matanya. Yan tidak pernah gagal membuat orang-orang di sekitarnya gemas akan tingkah lakunya.

Innocently Evil || Side Story [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang