Duapuluhsatu.

154 25 0
                                    

Yan mengangguk lesu meyakinkan karibnya yang tampak syok itu. Lana adalah orang pertama yang diajaknya bicara mengenai putusnya hubungan dengan Mala. Membahas hal tersebut membuatnya mengingat hari dimana ia dicampakkan tanpa alasan yang jelas. Ingatannya membekas seperti rasa pahit kopi yang tergambar jelas pada ekspresi wajahnya. Melihatnya, Lana menepuk bahu si adik kelas dengan simpatik.

"Gimana bisa?" tanya Lana dengan hati-hati.

Yan menghela napas dan tersenyum kecut. Sejujurnya ia ingin melupakan saja, makanya ia memilih mengurung diri dan tidak berbicara pada siapapun. Masalahnya hal itu makin membuat pikirannya berkeliaran kemana-mana dan terus mengulang adegan-adegan yang tidak pernah ia inginkan untuk terulang. Hatinya patah sedemikian rupa tiap mengingatnya.

"Aku juga nggak tahu, Mala minta ketemu dan langsung bilang ingin putus," ia menghela napas berat, "dia bilang dia seperti kehilangan perasaannya padaku, ia nggak mau makin nyakitin aku dengan terus menjalin hubungan tanpa perasaan. Tapi toh sama saja aku tetap tersakiti," jelasnya sambil tersenyum getir.

Pembicaraan mereka disela oleh pelayan yang mengantar pesanan mereka. Merasa tenggorokannya kering setelah bercerita, Yan menyesap sedikit susu almond miliknya.

"Terus kamu mau aja diputusin?" Lana yang terlampau lapar mulai menggulung pastanya dengan garpu dan memasukkan sesuap ke mulutnya.

Yan yang mendengarnya mendengus sambil tersenyum miring akan pertanyaan konyol khas Kelana Raya.

"Tentu saja aku nggak mau, tapi mau berapa kalipun aku menyangkal ujungnya akan tetap seperti itu," kesekian kalinya Yan nenghela napas dengan berat, "Aku terlalu menyayanginya untuk hanya berakhir memaksakan kehendakku," kepalanya kembali tertunduk menghadap roti di hadapannya yang jadi tidak menarik lagi.

Pengalaman Lana dengan masalah romansa sendiri memang tidak banyak, jadi yang bisa ia lakukan hanya menjadi penyokong mental dengan mendengarkan ceritanya seperti ini. Lana mengerti, Yan pasti sudah memendamnya berhari-hari berusaha untuk mengabaikan apa yang tengah terjadi padanya. Tapi menurut Lana, patah hati tidak bisa disembuhkan hanya dengan mengurung diri dalam kamar yang mungkin malah bisa membuat gila. Mereka harus keluar, menghirup udara segar dan melihat bumi yang berputar dengan baik-baik saja. Dibantu dengan teman yang baik mendampingi, maka hal itu setidaknya bisa sedikit membantu meringankan perasaan berat mereka.

Benar saja. Setelah menghabiskan waktu di luar rumah dan bercerita pada Lana, perasaan Yan sedikit membaik. Belum sembuh sepenuhnya, tapi ia yakin seiring berjalannya waktu ia akan baik-baik saja.

Dalam waktu belasan menit, Lana sudah meletakkan garpu dan pisaunya menyudahi santapannya. Ia menyesap chocolate milkshake-nya hingga separuh dan bergerak-gerak senang seperti anak kecil setelah merasa kenyang. Sementara itu, Yan yang hanya bisa menghabiskan satu roti dari beberapa yang dipesannya memandangnya sambil memutar bola mata menyadari kebiasaan Lana.

Selanjutnya ia menarik dua helai tisu, "Diam bentar," perintahnya yang kemudian mulai mengelap sisa saus di sudut bibir Lana. Lana yang tadinya kaget hanya bisa terkekeh paham mengenai kebiasaan lamanya, "mau jadi apa kamu kalau nggak ada aku?" ucap Yan bagai ibu-ibu memarahi anaknya.

Selama interaksi itu terjadi, mereka berdua dikagetkan dengan cahaya flash kamera yang diarahkan pada mereka. Sontak keduanya mengalihkan pandangan pada sumber cahaya dan mendapati dua cewek yang gelagapan salah tingkah mencoba menyembunyikan ponsel mereka. Menyadari kesalahan mereka, dua cewek tersebut dengan berisik beranjak dan pergi keluar dengan menutupi wajah mereka yang tampak seperti kepiting rebus.

"Well, kayanya kita bikin orang salah paham lagi," ujar Yan dengan kedua mata menyipit.

"Aku udah nggak kaget lagi. Kenapa sih orang-orang suka sekali berasumsi yang nggak-nggak?" balas Lana sambil menggelengkan kepalanya.

Innocently Evil || Side Story [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang