Empatbelas.

96 25 0
                                    

Yan menghela napas sambil memainkan ujung bantalan sofa. Ia memang membutuhkan teman bercerita, makanya ia tanpa sadar mengunjungi rumah Lana. Hanya saja, setelah bertemu begini ia bingung harus memulai ceritanya darimana.

Setelah jeda yang cukup lama, Yan pun membuka ceritanya, "Hari Sabtu lalu aku ketemuan lagi dengan Naya, tepat jam tiga pagi di depan gerbang sekolah," mulainya dengan tatapan menerawang mengingat kembali hari itu. Lana langsung mengernyit mendengar intro cerita Yan.

"Dia bilang dia bisa melihat entitas tidak lazim dan aku sedang ditempeli salah satunya. Naya bilang si demit ini menempel dan meminjamkan auranya padaku membuat orang-orang seakan bertekuk lutut padaku. Sebagai gantinya demit itu meminta tumbal. Dia menginginkan Mala," Yan berhenti sejenak dan memejamkan matanya. Segalanya terasa abu-abu antara benar dan tidak yang bahkan ia sendiri tidak bisa memutuskan.

"Secara tidak langsung Naya bilang aku yang bikin Mala tiba-tiba sakit seperti itu. Konyol banget kan?" Yan tersenyum skeptis sambil menatap lawan bicaranya lekat menunggu respon mencemoohnya, tapi yang ada Lana hanya diam memperhatikan.

"Gimana maksudnya membuat orang-orang bertekuk lutut padamu?" tanya Lana.

"Ini tentang keberuntunganku. Entah kamu sadar atau nggak, rasanya semenjak masuk SMA banyak orang yang jadi baik padaku, bahkan rasanya mereka semua ingin jadi temanku. Awalnya aku pikir itu hal yang normal, tapi lama kelamaan banyak orang yang jadi memuakkan," jelasnya panjang lebar.

Lana mendengarkan taip detil yang dikatakan oleh Yan, mencoba menghubungkan sesuatu dalam benaknya.

"Aku nggak bisa sepenuhnya yakin akan apa yang dijelaskan Naya, karena dengan begitu berarti aku meyakini bahwa benar aku yang menyebabkan Mala jatuh sakit," Yan menghela napas dan mengusap wajahnya frustrasi.

"Lalu, apa cuma itu yang dijelasin Naya?" tanya Lana.

"Dia bilang dia bisa membantu, tapi aku harus datang ke rumahnya," ia menjeda sejenak, "Malam ini tepat pukul 12."

"Konyol sekali kan Lan? Ini nggak masuk akal!" protsenya, "Aku bahkan hampir nggak kenal Naya sampai hari di mana kami sekelompok bersama, terus sekarang dia mencecarku dengan penjelasan anehnya, aku nggak bisa nggak meragukannya kalau kaya gini," ia berharap Lana setuju dengannya dan memberikan masukan yang masuk akal untuk dilakukan.

Lana menghela napas sejenak, mencoba menenangkan sahabatnya yang mulai kalut itu. Mendengar penjelasan Yan, entah kenapa seperti mengurai simpul kusut yang terjalin di benaknya akhir-akhir ini.

"Dengar, aku merasa Naya punya poinnya sendiri," Yan sudah hendak menyela tapi dihentikan Lana dengan mengangkat jari telunjuknya, "Sekarang dengarkan penjelasanku dan coba untuk nggak menyelanya."

"Pertama, kurasa si entitas ini benar punya pengaruh besar dengan popularitasmu di SMA Aksara. Kedua, karena kalau aku boleh jujur, rasanya aku sendiri terkena dampak dari kemampuan si entitas," Yan mengernyit atas kalimat terakhir Lana.

Lana mengingatkan kembali hari di mana ia mengacau hingga akhirnya mereka bertengkar. Ia bilang waktu itu rasanya dia seperti bukan dirinya, yang seakan selalu dikendalikan suara di dalam kepalanya. Hal-hal seperti itu hanya terjadi ketika ia berada di dekat Yan.

"Jadi apa yang dilakukan si demit padamu? Bagaimana cara kerjanya?" tuntut Yan kemudian.

"Kamu sungguh ingin tahu?" yakin Lana yang dibalas anggukan mantab oleh Yan.

"Tiap kali berada di dekatmu rasanya kepalaku berkabut, ada suara-suara lain yang mempengaruhi perilakuku. Kamu sendiri tau aku agak overprotektif padamu saat itu," Yan kembali mengangguk menyetujui, bahwa rasanya memang Lana begitu memuakkan saat itu.

"Tapi kan sejak kita bertengkar, kamu udah berhenti jadi memuakkan. Malah kuakui kamu jadi berubah lebih dewasa. Siapa tau itu cuma pubertas?" bantah Yan sambil menjelaskan poinnya.

"Pubertas tentu saja, itu yang paling logis," gumamnya sambil meringis, "Tapi pubertas nggak cuma dipengaruhi satu orang Yan. Astaga, aku nggak percaya bakal bilang ini padamu," Lana mengusap wajah serta rambutnya ke belakang, bersiap membuka cerita yang mengganggu pikirannya belakangan.

"Dengar, meskipun kuakui aku sering bertindak absurd, aku nggak pernah kehilangan logikaku, ya kan?" Lana seakan berkata omong kosong, tapi Yan paham akan maksudnya dan mengangguk setuju.

"Nah, ketika aku berdekatan denganmu, logikaku terasa menguap digantikan emosi-emosi rancu seperti iri, marah bahkan cemburu. Bahkan ada kalanya rasanya aku bisa memberikan seluruh dunia cuma untuk melihat kamu berbahagia. Demi Tuhan aku sempat menganggap diriku belok gara-gara kamu Yan, makanya aku mencoba mengurangi intensitas pertemuan kita berharap emosi rancu itu hilang. Nyatanya perasaan rancu itu memang nggak pernah ada ketika aku nggak menemuimu, hilang tak berbekas tapi akan selalu kembali lagi ketika berdekatan denganmu."

"Astaga Lan, kamu beneran punya secret crush ke aku?" Lana melemparkan bantal sofa ke wajah Yan yang memandangnya geli.

"Bukan itu poinnya sialan!" Lana memutar bola matanya kesal akan si adik kelas.

"Oke oke sori, jadi apa yang bikin yakin kalau kamu beneran nggak punya crush ke aku?" Lana memejam gemas akan istilah yang digunakan Yan.

"Aku nggak tau ini sebuah penjelasan atau bukan, tapi aku lagi suka cewek lain," pungkasnya dengan suara rendah. Dengan dibukanya kartu terakhirnya, Lana merasa telah menebus dosa-dosanya yang ditumpuk kepada Yan.

Yan sendiri masih sangsi akan banyak hal, tapi jika sahabatnya sudah membuka seluruh kartu yang ia tahu sudah disembunyikannya selama ini, ia perlahan-lahan mulai memperhitungkan penjelasan dan tawaran Naya.

"Apa yang masih kamu ragukan?" tanya Lana memecah keheningan yang tidak sengaja tercipta di antara mereka.

"Naya," jawab Yan pelan, tidak yakin dengan apa yang dikatakan. Sementara, Lana hanya memandangnya dengan satu alis yang terangkat.

Innocently Evil || Side Story [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang