"Kamu kenal Naya nggak Lan?" pertanyaan Yan yang tiba-tiba itu membuat Lana tersedak dan tebatuk hebat. Pasalnya, ia sedang menikmati seblak level sepuluh yang pedasnya tidak manusiawi, tersedak kuahnya sama saja cari mati.
"Duh, pelan-pelan Lan. Ini minum dulu," ujar Yan sambil menyodorkan susu plain yang dipesan sebagai penawar pedas. Lana menenggaknya hingga habis namun masih terbatuk dan merasa tenggorokannya seperti terbakar. Akhirnya ia pun mengambil paksa milik Yan dan menenggak gelas keduanya hingga habis. Barulah ia merasa sedikit baikan walaupun tenggorokannya masih terasa seperti ditusuki jarum kecil.
Mereka mengunjungi warung seblak langganan mereka di dekat sekolah atas permintaan Lana. Katanya ia sedang mengidam makanan super pedas dan ia harus mendapatkannya. Yan sendiri sebenarnya tidak terlalu menikmati makanan pedas, tapi kalau Lana yang minta ditemani ia susah menolak karena ia akan terus meneror hingga keinginannya dikabulkan.
Apa yang Lana ingin, Lana dapatkan. Tapi bisa tidak Yan memilih topik pembicaraan yang normal saja. Kenapa tiba-tiba Yan menyebutkan nama itu? Lana mencoba mengingat apa ada orang lain bernama Naya di SMA Aksara, tapi yang terpikirkan olehnya hanya gadis berambut pendek itu. Sebenarnya jika dipikir lagi, tidak aneh jika Yan menyebutkan nama itu karena toh Naya adalah teman sekelasnya. Ah, mengingat hal itu membuat Lana kembali terpikirkan akan banyak hal.
"Hei, kok malah ngelamun sih Lan. Kenal nggak?" ulangnya sembari melambaikan tangan di depan wajah Lana.
"Oh, em... Kayanya aku tau, tapi entahlah yang kita maksud sama atau nggak," ujarnya menyebunyikan ketergagapannya.
Yan mengangguk sambil mengaduk seblak level dua di hadapannya, "Dia teman sekelasku," jelasnya kemudian.
"Terus?" Lana hampir tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya akan bahasan Yan kali ini.
"Dia itu aneh," Lana hampir menggebrak meja tidak terima kalau saja yang mengatakan bukan Yan. Sebagai gantinya ia mengernyit meminta penjelasan lebih detil.
"Kemarin aku dapet tugas kelompok bedah katak bareng dia, dan kayanya dia benci aku deh," ujarnya serius. Lana mencoba mengulum bibir menyembunyikan seringainya atas penjelasan Yan.
"Terus apa salahnya orang benci kamu?" pancing Lana.
"Entahlah, aku nggak biasa liat orang terang-terangan nggak suka padaku. Aku jadi kepikiran kira-kira aku punya salah apa padanya," melihat Yan yang sangat serius akan kerisauannya membuat Lana jadi turut tidak enak hati.
"Terus kenapa nggak kamu tanyain aja sama dia?" Lana mencoba memberikan saran yang masuk akal.
"Rencananya sih gitu, tapi aku takut dia makin nggak suka sama aku kalau aku ngebahas itu."
"Yah itu sih resiko, tapi daripada kamu kepikiran gitu sih menurutku mending ditanyain," yakin Lana sambil kembali menyendokkan seblak ke mulut.
"Gitu ya? Aku coba deh besok kalau momennya pas aku tanyain," ia tersenyum singkat dan kembali menikmati seblaknya, berkebalikan dengan Lana yang mengernyit bingung.
Besok Yan bilang. Besok kan hari Sabtu, sekolah libur. Dengan gatal akhirnya ia bertanya, "Besok?"
Yan mengalihkan pandangannya dari mangkuk seblaknya dan mengangguk, "Iya besok, kayanya aku harus ngerjain laporan bedah katak besok bareng Naya," lanjutnya.
Tiba-tiba seblak yang sudah sejak dua hari lalu ia idamkan itu menjadi tidak menarik. Ia terpikirkan akan Yan dan Naya yang menghabiskan akhir pekan bersama untuk mengerjakan tugas sementara ia sendiri selama ini tidak pernah punya kesempatan macam itu. Apa Tuhan mulai berlaku tidak adil padanya?
Separuh hati sebenarnya ia menyalahkan diri sendiri yang penuh keraguan. Hubungannya dengan Naya berhenti pada titik teman-satu-klub-membaca saja. Dan ngomong-ngomong tentang klub membaca, Lana bersumpah itu klub paling membosankan yang pernah ia ikuti. Kegiatannya hanya membaca dan berdiskusi tentang isi buku yang kadang belum Lana selesaikan. Perlahan ia menyibukkan diri dengan kegiatan lain dan menghilang dari kegiatan klub menjadi anggota most wanted. Ia datang kapan saja dia ingin tentu ketika Naya juga hadir.
Semenjak pertengkaran mereka terakhir kali, Lana berubah banyak. Ia mengurangi dengan sangat intensitas pertemuannya dengan Yan di sekolah, membiarkannya membentuk lingkaran pertemanannya sendiri. Ia turut bangga bagaimana Yan dengan cepat punya reputasi super baik dan menjadi jajaran papan atas anak-anak populer SMA Aksara, bahkan sampai hendak memacari primadona Aksara yang satu kelas dengannya itu.
Lana pikir, dengan demikian emosi rancunya bisa turut hilang perlahan. Tapi tidak, emosi itu selalu datang kembali hanya ketika ia berada di dekat Yan membuatnya selalu waspada. Hal itu pulalah yang membuatnya selalu meragu mengenai perasaannya terhadap Naya. Ia takut salah, ia takut apa yang dirasakannya hanya sesaat. Pikiran-pikiran liar lainnya adalah ia takut tengah mengalami perubahan orientasi seksual.
Belakangan terlalu banyak hal yang dipikirkan oleh Lana yang tidak bisa dibagikannya pada Yan. Padahal Yan masih tetap sama meski setelah pertengkaran itu. Ia masih lekat pada Lana seperti permen karet dan selalu menjadikannya tempat bercerita. Hal itu kadang membuatnya merasa menjadi orang paling berdosa sedunia.
Sedangkan Yan sendiri sebetulnya menyadari perubahan sikap Lana. Ia tidak merasa Lana terasa jauh atau bagaimana, hanya saja ia pikir Lana sedang mengalami pendewasaan. Walaupun masih sering bertingkah absurd, tapi keabsurdannya seakan berkurang sebanyak 30 persen. Lana lebih sering sibuk sendiri dan memikirkan banyak hal yang tidak langsung dibagikan padanya. Yan tidak keberatan, toh yang terakhir kali marah karena Lana terlalu ikut campur urusannya adalah dia. Mungkin ini adalah konsekuensi yang harus dibayarnya. Tapi selama Lana masih mau jadi sosok kakak yang selalu bisa diandalkan untuk Yan, ia tidak keberatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocently Evil || Side Story [FIN]
Teen FictionAn Innocently Evil's side story. Berhubung ini side story, jadi disarankan untuk membaca dulu Innocently Evil, terimakasih 🌚 And somehow this book is basically my selfish way to release my inner YeonBin, so I apologize in advance 😌 Start: 10/01/20...