Limabelas.

104 26 3
                                    

Yan memijat pangkal hidungnya, merasa kepalanya pening akan segala pemikirannya.

"Aku nggak benar-benar kenal Naya sebelumnya. Dia menarik karena terasa asing dan misterius, tapi tiba-tiba dia datang dan kemudian mengatakan hal-hal di luar nalar seperti itu, aku nggak tau harus gimana Lan," Yan menunduk sembari mengutarakan keraguannya.

"Yan, aku rasa nggak ada ruginya kamu coba percaya Naya. Kurasa dia nggak ada untungnya juga kalau hendak berbuat jahat padamu," yakin Lana, "Lagipula mana ada cewek selugu dia punya otak kriminal?" tambahnya setengah berbisik.

"Apa? Barusan kamu ngebelain Naya?" sergah Yan yang mendengar gerutuan samar Lana.

Buru-buru Lana memasang wajah sok polos dan berkata, "Hah, mana ada? Udah, seingatku kamu harus ke rumah Naya jam 12 kan? Jam berapa sekarang? Astaga, sudah jam 11 lebih Yan. Butuh tebengan?"

Mencurigakan sekali melihat Lana tiba-tiba jadi gelagapan begitu. Sayangnya Yan tidak punya waktu lebih untuk menginterogasi Lana, waktunya sudah mepet.

"Nggak usah Lan, biar aku aja sendiri. Rumahnya deket sini kok," seusai kalimatnya terlontar, gemuruh guntur menyambut di langit malam. Keduanya saling pandang namun sibuk dengan pikiran masing-masing, menciptakan keheningan singkat di antara mereka.

Getaran di ponsel Yan membuyarkan suasana aneh itu. Yan mengernyit melihat panggilan atas nama "Mala" di ponselnya. Buru-buru ia menggeser tombol hijau di layarnya dan menyapa dengan ragu.

"Halo?"

"Yan, ini tante," sambut suara di seberang sana. Rupanya itu Ibu Mala yang menghubungi. Suaranya diliputi kecemasan yang dengan mudah menular pada Yan.

"Cuma mau ngabarin," beliau berhenti sejenak terdengar tercekat, "kalau keadaan Mala tiba-tiba memburuk menjadi koma." Yan yang mendengarnya lantas merasa dunianya runtuh. Segala hal terasa tidak masuk akal baginya, tapi di seberang sana orang yang disayanginya terbaring sakit tanpa sebab yang mungkin diakibatkan oleh sesuatu yang selalu dibawanya. Yan sudah tidak punya pilihan lain.

Lana yang melihat perubahan ekspresi Yan dengan tiba-tiba mencoba paham akan kabar macam apa yang didapatnya. Ketika pandangan mereka kembali bersirobok, mereka saling mengangguk paham. Seketika, Yan menghambur keluar menghampiri sepedanya diikuti Lana. Di luar, gerimis mulai turun membasahi tanah yang diabaikan oleh Yan.

"Yakin nggak perlu kuantar?" Lana kembali meyakinkan sahabatnya untuk terakhir kalinya yang hanya dibalas dengan gelengan.

"Tunggu aku aja di rumah, aku bakal balik ke sini," jawabnya. Beberapa detik kemudian, punggungnya sudah hilang ditelan gelap malam.

Lana hanya mampu memandang titik kosong dimana keberadaan Yan menghilang dengan penuh kekhawatiran. Entah benang takdir macam apa yang menghubungkan mereka dengan si entitas tidak lazim itu membuat keadaan aneh ini jadi makin rumit. Sejujurnya Lana tidak pernah menyangka akan bersinggungan dengan fenomena macam ini, tapi ini nyata terjadi dan jelas dia terkena dampaknya. Lana hanya bisa berdoa yang terbaik dan semoga segalanya bisa berjalan dengan lancar--apapun yang terjadi di rumah Naya itu.

Hujan turun makin deras membuat Lana berdiri lama di teras rumah. Takut-takut Yan akan kembali untuk minta diantarkan, tapi nihil. Yan tampaknya membulatkan tekadnya dan terus menerjang hujan menuju rumah Naya.

Setelah menenangkan pikirannya, Lana pun kembali masuk ke dalam rumah. Dengan gontai ia masuk ke kamarnya dan mengganti pakaian siap perginya dengan sesuatu yang lebih nyaman. Ini mungkin kesempatan langkanya untuk keluar tanpa sepengetahuan orang tuanya, tapi ia bersyukur Yan datang tepat sebelum ia sempat pergi. Jika tidak, entah malam macam apa yang akan terjadi hari itu yang Lana sendiri tidak berani membayangkannya.

Entah hanya perasaannya saja atau bukan, waktu seakan bergulir begitu lambat bagi Lana. Sedari tadi ia hanya memindah-mindah channel TV di depannya dan sesekali bermain ponsel. Setelah kembali mengecek jam, waktu baru menunjukkan pukul satu lebih enam menit. Perasaan gelisah juga menghinggapi hatinya tanpa sebab, bahkan sesekali ia bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Lana tidak mengerti apa yang tengah terjadi padanya saat itu. Ia beranjak dan berjalan mondar-mandir di rumahnya yang lengang itu untuk mengurangi kegelisahannya. Lana merasa sudah seperti orang tua yang khawatir menunggui anaknya yang tidak kunjung pulang. Kepalanya dipenuhi penyesalan karena tidak mengantar Yan ke rumah Naya atau bahkan hanya sekadar meminta alamat rumah Naya. Sekarang ia bingung sendiri dengan segala kecemasan tak berdasarnya.

Lana menghentikan langkah kakinya dan mengacak rambutnya frustrasi karena tidak mampu menghentikan kegelisahannya.

"Besok-besok aku bisa mengadopsi Yan jadi anakku kalau seperti ini. Aku sendiri sangsi orangtuanya tau apa yang dialami Yan malam ini, ckckck Kelana Kelana..." ia menggeleng dan kembali melemparkan tubuhnya ke sofa setelah puas bermonolog.

Ia kembali mencoba mengalihkan pikirannya dengan mengganti-ganti channel TV mencari sesuatu untuk ditonton. Perhatiannya sedikit teralihkan ketika mendapati channel yang menayangkan episode dokumenter sains mengenai astronomi dengan judul cosmos yang dulu pernah ia tonton.

🐰🐰🐰

Dengan kepayahan, Yan mengayuh pedal sepedanya menuju rumah Lana. Tadi ia merasa bugar sekali setelah beristirahat sebentar di rumah Kakek Ghana dan mendapatkan kabar baik mengenai Mala makin membuatnya seakan bisa saja mengayuh hingga pulang ke rumah yang jaraknya dua kali lipat. Tapi setelah beberapa kayuhan meninggalkan rumah Naya, ototnya bagai digelayuti beban berton-ton. Pegal dan linu kembali menyergap tubuhnya seakan baru saja melakukan pekerjaan super berat.

Kelopak matanya memberat, kesadaran seakan bisa meninggalkannya kapan saja. Dalam hati ia memperingati dirinya untuk tetap terjaga paling tidak sampai di rumah Lana. Dengan peluh bercucuran dari pelipisnya dan kayuhan pedal yang makin lama makin berat, akhirnya Yan bernapas lega ketika perlahan rumah rustic Lana tampak di pandangannya.

Saat sampai di depan rumah Lana, Yan bergegas membuka pagar yang tidak dikunci dan menaruh sepedanya asal di halaman. Ia meraih gagang pintu mencoba membukanya yang ternyata dikunci. Dengan kalap ia menggedor pintu depan sembari menggusak rambutnya kasar mencoba menghilangkan pening yang datang entah sejak kapan.

Pintu terbuka ketika Yan sudah nyaris kehilangan kesadaran. Hal terakhir yang mampu ia lihat adalah wajah khawatir Lana dan selanjutnya hanya kegelapan.

"Yan, hei! Kamu nggak apa-apa?"

Lana yang melihat Yan terhuyung jatuh dengan sigap menangkapnya. Ia menepuk panik wajah adik kelasnya untuk menyadarkannya tapi nihil, matanya tetap terpejam tanpa ada tanda-tanda untuk terbuka. Dengan susah payah, Lana memapah Yan yang lebih jangkung dari dirinya ke dalam rumah. Ia membaringkannya di kasur dan kembali menepuk Yan dengan panik. Bagaimana tidak, Yan tampak berantakan dengan rambut lepek dan baju yang setengah basah. Melihatnya, ia menempelkan punggung tangannya di dahi Yan untuk mengecek suhu tubuhnya yang ternyata normal.

Lana mencoba menenangkan diri dengan beberapa kali menghela napas panjang. Otaknya kembali mengambil alih, memikirkan tindakan macam apa yang harus ia lakukan. Setelah memperhatikan Yan beberapa saat, Lana menyadari bahwa di samping keadaan luar Yan yang kacau, ia tidak menampakkan tanda-tanda kesakitan apapun. Dia tidak demam, napasnya tampak teratur dan wajahnya damai seperti bayi tidur. Lana tersenyum miring melihatnya, ia sadar dirinya hanya terlalu panik. Ia hampir saja membuat keributan sendiri dengan mencoba menelepon ambulans atau membawanya sendiri ke rumah sakit, padahal mungkin yang dibutuhkan Yan saat itu hanya istirahat cukup.

Lana menyisir ke belakang rambutnya sembari bangkit dari duduknya. Ia bekacak pinggang sambil memandangi Yan yang tertidur pulas, "Tidur yang nyenyak. Nanti kalau kamu bangun, ada banyak hal yang harus kamu ceritain kenapa kamu bisa sampai berantakan gini," senyum maklum terulas di bibirnya sebelum akhirnya ia meninggalkan kamar.

🦊🦊🦊

Innocently Evil || Side Story [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang