6 » Monas

72 3 0
                                    

You've been fighting the memory all on your own

Nothing washes nothing grows

I know how it feels being by yourself in the rain

We all need someone to stay

Vancouver Sleep Clinic – Someone to Stay

Pukul setengah dua

Devan memberhentikan mobilnya dan memarkirkan mobilnya, lalu memeluk Ara sebentar yang kembali flashback soal masa lalunya. "Udah, Ra, gapapa kok. Dianya aja yang brengsek trus labil gajetot anjing," tangan Devan mengusap pundak Ara, berusaha menenangkan. "Gue yakin, orang bangsat ya sama yang bangsat juga. Orang baik pasti bakalan ended up sama yang baik juga. Hukum alam. Bajingan macam apa yang nyuruh ceweknya ngizinin dia buat chatting mesra sama cewek lain? Gila. Udah Ra, gak usah ditangisin."

"Gue cuma ngerasa kalau ternyata gue gak berarti ya bagi dia?"                                                   

Kepala Devan menggeleng pelan lalu dia tersenyum, melepaskan pelukannya lalu menangkup wajah Ara, ibu jarinya menghapus bulir air mata yang terus turun itu. "Nggak sama sekali," jawab Devan. "Let yourself heal."

Mata mereka terkunci.

Ara tersenyum. "Thank you," ucapnya pelan. "Gue ngerasa kayak... apa yang udah gue lakuin selama bertahun-tahun sama sekali buang-buang waktu gue, Devan. Gue peduli sama orang yang bahkan sama sekali gak peduli, bahkan ninggalin gue disaat udah ketemu sama cewek yang lebih asik daripada gue."

"Ra," panggil Devan. Posisi saat ini masih sama; kedua tangan Devan menangkup wajah Ara yang semakin tirus dan bulir mata Ara yang tidak ada henti-hentinya keluar. Melihat ini, Devan merasa hatinya teriris. Dia tidak pernah melihat cewek di hadapannya ini menangis karena seorang cowok.

Devan tahu betul bahwa Ara sangat menyayangi mantannya, lebih dari dia mencintai dirinya sendiri.

Ara semakin kurus dan Devan yakin bahwa Ara pasti kerap kali membiarkan dirinya kelaparan setiap hari hanya karena tidak dapat berhenti memikirkan betapa hatinya terkoyak dalam.

"Cari kerak telornya yuk," ucap Devan. "Dulu lo sering bilang ke gue makanan itu bikin serotonin seimbang, so let's go get some."

Ara tertawa canggung dan melepaskan tangkupan tangan Devan. "Let's," ucap Ara sambil mengangguk dan keluar dari mobil bersamaan dengan Devan.

Devan meninggalkan mobilnya terparkir di area Monas.

"Duh gue kangen banget ama tuh abang-abang."

"Abang-abangnya gak kangen sama lo."

"Dih, gue udah deket banget tuh sama abangnya."

"Masa?"

"Iya, sumpah. Abangnya sampe ngasih gue diskon 50%!"

"Bodo."

"Inginku sleding mulutmu itu wahai Esmeralda."

Ara lagi-lagi tertawa ngakak. "Masih jaman banget nih kak, Esmeralda?"

"YAH!!!!!!!!!!!!!!" teriak Devan dengan nada kecewanya tiba-tiba.

"Apaan sih? Bisa budek gue, anjing."

"Udah gak ada," ujar Devan. "Biasanya disini."

"Ya udah sih, yang sabar namanya juga hidup."

"Kecewa."

"Manusia emang suka bikin kecewa, Dev. Makanya percaya mah sama Setan aja."

"Fuck, lo cringe banget anjir," ucap Devan sambil melirik Ara. "Ya udah si, balik aja ke mobil."

"Terus mau kemana?"

"Gue laper, lo temenin gue makan yak."

***

JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang