16 » Closure

48 2 0
                                    

A R A

"Bangun anjing, lo ngampus gak?"

Seiring dengan kalimat itu dilontarkan dengan sedikit keras, mata gue terbuka secara refleks terbuka dan hal pertama yang gue lihat adalah penampakan seorang cewek berambut panjang yang rambutnya belum disisir sama sekali, sama persis kayak gue; baru bangun dan masih ileran. "Mageer," ucap gue, tangan gue melayang ke udara, mengencangkan sendi-sendi yang ada di tangan gue sampai berbunyi lalu duduk dengan tatapan yang masih kosong memandang ke arah dinding.

"Ya udah, titip absen aja."

Gue masih bengong.

"Kesambet baru tau rasa."

Lalu setelahnya gue menoleh ke arah Desta, temen kating gue yang mau nampung gue di apartemennya dari semalem — karena gue terlalu males untuk balik ke Depok malem-malem, terlebih e-toll gue habis dan, ya, hal itu jadi perkara gede sih. Tapi enggak lebih gede daripada gue yang lumayan kobam semalem dan mengharuskan gue untuk nginep di sini.

Jadi gue di sini. Di apartemennya Desta, di Taman Rasuna, yang bangsatnya adalah satu tower sama Devan.

Anjing.

"Shake it off, sist. Gak usah dipikirin masalah yang lalu, dibawa enjoy aja."

Gue menoleh. "Tiya kemana dah? Kok gue gak ada liat dia?"

"Semalem balik sama cowoknya."

"Kayaknya emang ya kampus gue yang paling jauh daripada lo pada."

Desta tertawa. "Pindah ego, mumpung masih semester 2. Biar kita bisa party all night."

"Kalau gue mau pindah, mungkin gue bakal pindah ke tempat lain. Jakarta sama Depok sama-sama bikin sakit hati."

Lalu gue dan Desta berbincang sedikit, sampai pada akhirnya gue memutuskan untuk bersiap-siap kuliah. Meskipun semalam gue cukup mabuk, tapi gue yakin sekarang gue udah 100% sober kalau nyetir. Lagipula gue enggak mungkin meninggalkan mata kuliah Sistem Ekonomi Indonesia yang bernotabene sebagai mata kuliah paling susah dan diampu oleh dosen paling killer pula.

Setidaknya, gue harus tetap berusaha untuk mempertahankan apa yang telah gue raih sebelumnya. Mendapatkan sebuah Indeks Prestasi yang sempurna bukanlah hal yang mudah untuk gue, yah walaupun gue dengan tololnya harus nugas dengan baik dan benar setelah atau sebelum clubbing.

Gue bergegas pergi dari apartemen Desta, pamit ke dia dan gue sempat berpikir untuk gak kelas hanya untuk mengisi kesempatan gue agar gue bisa berbicara dengan Devan. Mumpung banget karena gue lagi ada di satu tower yang sama kayak dia, tapi rasanya gue akan terlihat sangat menyedihkan kalau Devan lagi-lagi menolak keberadaan gue secara mentah-mentah. Well, enggak mentah-mentah sebenernya tapi ketika kita berbicara Devan terlihat sukar membuka mulutnya yang terkatup sehingga gue pun enggan untuk membuka topik obrolan.

Mungkin gue dan Devan emang enggak ditakdirkan bersama, terlebih apa yang gue udah lakukan di beberapa bulan yang lalu emang anjing banget. Gue dengan tololnya masih aja ngasih celah buat Rangga untuk masuk lagi ke dalam hidup gue dan gue benar-benar menyesali itu.

Gue nyesel.

Satu hal yang paling membuat gue  speechless terhadap Devan adalah bagaimana dia treat gue. Gue selalu merasa dihargai sama dia dari dulu; dia selalu dengerin gue tentang apapun itu kecuali American Horror Story. Gue dan Devan jelas berbeda dari segala kesibukan dan interest, tapi gue seneng dengan fakta bahwa Devan bisa mentoleransi gue yang suka ngoceh tentang One Direction dan berusaha terdengar tertarik padahal gue bisa jamin dia sama sekali enggak tertarik soal itu. Terlebih, gak seperti Rangga yang langsung memaki gue dengan kalimat-kalimat dengan akhiran dan awalan "GOBLOK!", Devan lebih memilih untuk berkata "Tapi menurut gue nih, Ra..." yang mana membuat gue merasa lebih dihargai ketika gue berpendapat.

JakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang