Nadhifa Aurelia | 1

513 58 23
                                    

Pagi ini langit tampak begitu cerah, awan putih berkerumun menghiasi langit. Kicauan burung di pagi hari, suara ayam berkokok, dan juga bunyi nyaring dari jam weker berwarna hitam yang terletak di atas meja samping kiri tempat tidur, tidak juga membangunkan gadis yang saat ini masih bergulung di atas kasur. 

Napasnya yang teratur, matanya yang terpejam rapat membuat ia tampak begitu nyenyak dalam tidurnya. Membuat siapa saja yang melihatnya, mengurungkan niat untuk membangunkan gadis itu. 

Tapi jam sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, itu artinya gadis ini harus segera bangun dan bersiap-siap berangkat ke sekolah.

“Non, bangun! Udah siang, Non kan sekolah,” itu suara Bi Inah, ART yang sudah bekerja hampir tiga belas tahun lamanya. 

Gadis itu tidak juga bangun, hanya bergumam sebentar lalu melanjutkan tidurnya.

“Non Dhifa, bangun!” ucap Bi Inah sambil menggoyangkan tangan dan kaki gadis yang bernama Dhifa ini. 

“Apa sih, Bi,” sahut Dhifa dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. 

Akhirnya bangun juga–batin Bi Inah. “Non gak ke sekolah?” tanya Bi Inah.

“Sekolahlah, emang ini jam berapa?” tanyanya.

“Jam enam, Non.”

“Masih jam enam, Bi. Saya, kan masuk jam tujuh!”

Bi Inah menghela napas. “Tapi, kan, Non Dhifa kalo mandi lama, belum lagi harus sarapan, siap-siap. Nanti kalo telat dihukum loh, Non.”

Dengan malas Dhifa bangun dari tidurnya. “Enak saja! Dhifa kalau mandi paling lama cuma empat puluh menit, itu juga karena sampoan sama luluran,” balasnya. “Ya udah Bibi keluar, Dhifa mau siap-siap.”

Bi Inah mengangguk dan berjalan keluar kamar, meninggalkan Dhifa yang saat ini sudah berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.

*****

“Sarapan hari ini nasi goreng, Non,” ujar Bi Inah saat melihat anak majikannya yang sudah duduk di kursi meja makan.

Dhifa melirik malas nasi goreng yang berada di atas meja makan. Bukan, bukan karena masakan Bi Inah yang tidak enak atau tidak pas di lidahnya, tapi karena ia bosan harus makan sendiri setiap pagi. 

“Bibi, gak makan?” tanya Dhifa.

“Bibi udah makan, Non.” Tuh, kan, Bi Inah selalu saja seperti ini, makan lebih awal. 

“Dhifa mau langsung berangkat aja deh, gak nafsu makan,” ujarnya lalu beranjak dari duduknya.

“Lho kenapa, Non? Non Dhifa gak mau nasi goreng? Atau mau Bibi bekalin aja?” 

“Gak usah, Bi. Emang lagi males makan.” Dhifa menyampirkan tas di bahunya, lalu memakai kaus kaki maroon dan juga sepatu putihnya. 

“Tapi nasi gorengnya sayang lho, Non. Nanti gak ada yang makan.” Bi Inah masih saja membujuk Dhifa untuk sarapan, bahkan tanpa sadar Bi Inah sudah mengikuti Dhifa sampai ke halaman kosong depan rumah, tempat mobil Dhifa sudah terparkir dan siap untuk dipakai. 

“Kasih Pak Wawan aja, suruh abisin! Dhifa berangkat, Bi,” pamitnya lalu masuk ke dalam mobil dan mulai meninggalkan halaman rumahnya, setelah Pak Wawan, satpam rumah membuka pagar. 

Jalanan hari ini cukup lenggang, membuat gadis yang berada di balik kemudi tidak perlu menggerutu karena terjebak macet.

Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan rata-rata sambil sesekali tangan kirinya merapikan tatanan rambutnya.

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang