Coffe Latte | 6

263 34 2
                                    

Dhifa menjatuhkan tubuhnya di kasur king size miliknya, memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Jarum jam mulai mengarah ke angka delapan. Tapi David, papanya belum juga pulang dari kantor. Sudah bisa ditebak, kalau papanya pasti akan pulang larut malam seperti biasanya.

Tanpa sadar keheningan mulai menyelimuti dirinya malam ini, membuat ia mengingat kembali kenangan-kenangan yang tidak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun.

Seorang gadis kecil tampak tertawa bahagia ketika merasakan tubuhnya basah karena derasnya air hujan. Dia nampak berlari kecil sambil sesekali menadahkan tangan kecilnya untuk menampung air hujan yang semakin lama semakin deras. Tidak peduli sudah berapa kali teriakan mamanya menyuruh dirinya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dia tetap berdiri di taman samping kanan rumahnya sambil menikmati dinginnya air hujan yang masuk ke pori-porinya. 

Baru saja ingin berlari saat matanya tidak sengaja melihat mamanya yang berjalan membawa payung ke arahnya, tapi tangannya sudah lebih dulu tergapai dan langsung membawa gadis kecil itu masuk ke dalam rumah lewat pintu samping yang berada di samping taman. 

“Mama, hujannya, kan belum belenti, ko aku udah ditalik aja sih,” protes gadis kecil berusia sekitar empat tahun. 

“Kamu gak boleh lama-lama main hujan-hujanannya sayang. Nanti kalo sakit gimana?” tanya wanita cantik yang mungkin berusia 28 tahun.

“Aku, kan kuat. Gak sakit kalo main hujan-hujan.”

“Pokoknya gak boleh. Sekarang ayo ganti baju, abis itu kita makan. Mama udah bikin sup kesukaan kamu lho,” nyatanya bujukan itu tidak membuat gadis kecil itu luluh. Dia malah memasang muka masamnya sambil memanyunkan bibirnya.

“Kalo ada Papa pasti boleh. Papa kan selalu nulutin kemauan aku.”

“Untuk kali ini gak boleh. Bener kata Mama, kalo kamu kelamaan main hujan-hujanan nanti bisa sakit,” ujar pria paruh baya yang baru datang dari arah mushola yang berada di lantai satu.

“Pelit,” ucapnya seraya membalikkan badannya yang malah membuat David dan Nadin saling pandang lalu tertawa. 

David berjongkok di depan putrinya untuk menyesuaikan tingginya. “Bukannya pelit sayang, tapi Papa gak mau kalo putri kecil Papa ini sakit.”

“Sekarang ganti baju, Yuk. Nanti malam Mama buatin pudding coklat khusus buat kamu.” rupanya bujukan kali ini berhasil, membuat gadis kecil itu tersenyum. “Tapi Mama janji dulu, Papa gak boleh bagi, kan khusus buat aku.”

“Iya janji. Papa gak Mama buatin. Tapi sekarang kita ganti baju dulu, ya” Bujukan kedua itu berhasil meluluhkan hati sang Anak, terbukti saat gadis kecil itu menganggukkan kepala pertanda setuju.

“Kalo gak dibagi, nanti Papa buat sendiri aja puddingnya,” ucap David sambil bangkit dari jongkoknya. 

“Emang Papa bisa?”

“Bisa dong. Papa, kan jago.”

“Papa culang, iiiiih” protes gadis kecil itu yang dibalas tawa oleh David.

Sepotong kenangan masa lalu kembali teringat oleh Dhifa. Membuat Dhifa tanpa sadar sudah meneteskan air mata, walau umurnya saat itu masih sangat kecil, tapi dia ingat betul kenangan bersama mama dan papanya.

Dhifa rindu mamanya, rindu dibacakan dongeng sebelum tidur, rindu dibuatkan puding coklat kesukaannya, rindu semua masakan mamanya, dan rindu kebersamaan mereka.

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang