Perdebatan | 15

167 16 1
                                    

Mungkin akan lebih mudah ketika Dhifa pulang sekolah, ia langsung melihat papanya ada di rumah. Tapi nyatanya itu tidak terjadi. Bahkan ketika jam sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, David belum juga terlihat.

Sepasang iris mata berwarna coklat madu itu tampak memerah karena menahan kantuk. Tapi apa boleh buat? Banyak hal yang ingin ia tanyakan pada papanya, sampai rela menunggu seperti ini.

Kadang Dhifa juga bingung, sebenarnya pekerjaan seperti apa yang sedang papanya jalani? Karena hampir separuh waktunya, dia pakai untuk bekerja dan bekerja. Seperti pria lajang yang tidak ingat jika dia memiliki anak yang menunggunya di rumah. 

Menekan tombol on pada remot TV, lalu mencari channel yang menarik untuk ia tonton guna menahan kantuk yang sesekali kerap datang.

“Lho, kok, Neng Dhifa belum tidur?” tanya Bi Inah, saat dia melihat Dhifa duduk di sofa ruang keluarga.

“Belum ngantuk,” bohong Dhifa yang langsung diketahui oleh Bi Inah. Bagaimana tidak. Jika sepasang mata Dhifa sudah tampak begitu sayu dan dia sesekali menguap.

“Tapi, Neng Dhifa barusan nguap,” ucap Bi Inah.

“Papa kalo pulang jam berapa, Bi?” tanya Dhifa mengalihkan pembicaraan. 

“Tengah malem, Neng. Kadang juga suka gak pulang. Makanya Bapak punya kunci cadangan sendiri,” jawab Bi Inah. “Tapi… kadang masih suka saya yang bukain pintu. Tergantung Bapaknya sih, Neng. Kadang masuk sendiri, kadang juga suka pencet bel.”  

Rupanya mengantuk membuat Dhifa menjadi amnesia seketika. Menanyakannya hal yang ia sendiri sudah tahu jawabannya. Tentang papanya yang jarang pulang ketika ia masih duduk di bangku SMP, atau papanya yang selalu pulang tengah malam ketika Dhifa sudah memasuki bangku SMA. 

Tapi melihat sikap papanya kemarin, membuat ia berpikir jika papanya sudah berubah dan tidak akan pulang larut malam lagi. Dan perihal kunci cadangan, Dhifa memang tidak pernah tahu, yang ia tahu Bi inah selalu siap siaga untuk membukakan pintu saat papanya pulang ke rumah. 

“Kalo yang buka gerbang depan?” tanya Dhifa.

“Kan suami saya, Pak Wawan. Masih suka tidur di pos, Neng.” 

Dhifa hanya mengangguk-anggukan kepalanya saat mendengar jawaban dari Bi Inah. “Bibi tidur duluan aja, Dhifa masih mau di sini,” ucap Dhifa. 

“Bibi di sini aja nemenin Neng Dhifa, atau... Neng Dhifa mau bibi bikinin coklat panas?” 

Dhifa menutup mulutnya dengan tangan kiri saat dirinya menguap. “Boleh, Bi,” jawabnya setelah selesai menguap.

Bi inah lalu pergi ke dapur membuat coklat panas untuk anak majikannya itu. Tapi saat dia kembali ke ruang keluarga dengan secangkir coklat panas, dilihatnya Dhifa sudah memejamkan mata dengan nafas teratur. 

“Lho... Neng Dhifa kayaknya emang beneran ngantuk berat.” Bi Inah mendekat lalu menaruh cangkir coklat panas itu di atas meja.

“Oalaah, ini gimana? Masa Neng Dhifa tidur di sofa,” ujar Bi Inah pada diri sendiri. “Apa saya bangunin aja kali, ya?” baru saja tangan Bi Inah tergerak untuk membangunkan Dhifa, itu semua harus tertunda karena dia mendengar bunyi klakson di depan gerbang.

Bi Inah membuka pintu utama untuk melihat siapa yang datang, lalu helaan napas lega keluar saat dia melihat mobil majikannya yang sekarang sudah terparkir di halaman rumah, dan siap untuk memasuki garasi.

Bi Inah berjalan masuk ke ruang keluarga, mengamati Dhifa yang benar-benar nyenyak dalam tidurnya. Baru saja Bi Inah tergerak untuk mengambil remot TV yang berada di samping tubuh Dhifa, lalu suara bel membuatnya tersentak kaget. “Astagfirullah,” ucap Bi Inah ber-istigfar. 

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang