Ide Vano | 17

124 17 0
                                    

Om David: Om harap kamu mau bantu Om untuk bujuk Dhifa, supaya dia mau belajar sama kamu. 

Om David: Sesuai janji awal, Om akan kasih apapun yang kamu mau, asal kamu bisa buat nilai Dhifa jadi lebih baik dari sebelumnya

Kavin menatap pesan itu dengan tatapan nanar. Pesan yang baru saja ia dapat tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi. 

Kemarin, setelah pertemuannya dengan David di ruang kepala sekolah, David memang sempat meminta nomor Kavin agar mudah untuk berkomunikasi.

Bahkan tadi pagi David sudah mengirim pesan teks pada Kavin yang berisi kalau Dhifa masih menolak dirinya untuk menjadi tutor belajarnya. 

Lalu sekarang? David kembali mengirim pesan teks lagi. Kenapa harus dia yang dihadapkan dengan situasi seperti ini. Kenapa harus dia yang rela membujuk perempuan itu, padahal kenyataannya perempuan itu sendiri yang membutuhkannya.

Bahkan situasi ini lebih sulit dari sekedar mengerjakan seratus soal matematika dan kimia. 

Katakanlah Kavin lebay, tapi itulah kenyataannya. Apalagi jika mengingat kejadian di kantin tadi, Dhifa pasti benar-benar membencinya karena merasa Kavin sudah ikut campur dalam urusannya.

Dan itu membuat Kavin semakin sulit untuk mencoba berkomunikasi dengan Dhifa.

“Sejak kapan lo chattan sama om David.” Kavin tersentak kaget saat mendengar suara Edwin berada di dekatnya. 

Kavin langsung me-lock ponselnya lalu beralih menatap Edwin dan sekeliling kelas yang ternyata sudah hampir sepi. “Yang lain pada ke mana?” tanyanya. 

“Vano sama Liam ke kantin, mau beli minum dulu katanya.” jawab Edwin. “Lo ada urusan apa sama Papanya Dhifa?” tanya Edwin mencoba membahas topik awal.

“Lo udah liat isi pesannya?” 

Edwin menggeleng. “Om David nyuruh gue buat jadi tutor belajar Dhifa,” tutur Kavin.

Edwin terkejut mendengar penuturan Edwin. “Terus lo mau?” tanya Edwin.

“Gak ada alasan buat gue tolak.”

Mengangguk seakan mengerti. Edwin kembali berucap, “Tapi, kan lo sama Dhifa gak akur, emangnya dia bakal mau?” 

“Itu dia yang jadi masalahnya, Win. Om David nyuruh gue buat bujuk Dhifa.” 

“Gila,” ujar Edwin sambil terkekeh. “Dia aja belum tentu bisa bujuk anaknya. Lagian emang Dhifa anak SD yang apa-apa harus dibujuk.” Diam-diam Kavin membenarkan ucapan Edwin. 

“Menurut lo, gue–” ucapan Kavin harus terhenti ketika dia mendengar teriakan dari ambang pintu. 

“TUH, KAN GUE BILANG JUGA APA! MEREKA MASIH DI KELAS!” Kavin dan Edwin langsung menoleh ke sumber suara saat mendengar pekikan Liam.

“Win! Gue, kan nyuruh lo nunggu di parkiran sama Kavin, kok lo malah ngerumpi di sini,” dumel Liam. 

“Tau lo! Gue sama Liam nungguin lo berdua di parkiran, tapi malah gak dateng-dateng,” tambah Vano.

“Gue kira lo berdua masih di kantin,” jawab Edwin santai. 

“Tai lo!” kesal Liam.

Nah, kan. Orang sesantai dan sereceh Liam bisa emosi juga. 

“Ya udah, ayo pulang,” ajak Vano.

“Ayo! Ema gue udah nungguin gue nih di rumah,” jawab Liam. “Mau nganterin ibu negara ke pasar.”

“Lo bilang, mama lu udah gak nerima pesenan,” kata Vano. “Kalo masih nerima, kan mending gue pesen kue di nyokap lo buat acara mami gue di kantor.” 

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang