Saran | 13

168 17 0
                                    

“ABANG!” Kavin tersentak kaget saat mendengar panggilan kencang dari Kanaya.

“Kenapa?” tanya Kavin pada Kanaya, adiknya.

“Harusnya Naya yang tanya. Abang kenapa? Dari tadi bengong aja! Katanya mau bantuin ngerjain pr, tapi malah melamun terus,” omel Kanaya.

Kavin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Masih ada yang mau ditanyain gak? Kalo gak, Abang mau ke bawah.” bukannya menjawab, Kavin malah bertanya. 

Entah apa yang ada dipikiran Kavin. Tapi yang jelas, peristiwa sore tadi di ruang BK terus berputar di kepalanya, seakan ada hal yang membuat hatinya tak tenang. 

“Tinggal dikit lagi, sih. Ya udah Abang ke bawah aja, lagian di sini juga gak ngebantu,” ujar Kanaya yang kembali sibuk dengan buku latihannya. 

Kavin menyatukan jari telunjuk dengan jempol, mengangkat tangan dan mengarahkannya ke dahi Kanaya. “Aww!” ringis Kanaya, saat merasakan sentilan di dahinya. 

“Rasain, emang enak!” Kavin lalu keluar dari kamar bernuansa pink itu, sebelum ia mendapat balasan dari Kanaya

“AKU ADUIN SAMA PAPA!” teriak Kanaya dari dalam kamar sambil.

Kavin melongokkan kepalanya ke pintu kamar Kanaya. “Udah gede masih aja ngadu, malu sama anak SD.”

“Biarin aja,” jawab Kanaya lalu kembali sibuk dengan tugas-tugasnya.

Kavin yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala lalu melanjutkan niat awalnya. “Papa mana, Mah?” tanya Kavin saat dirinya sudah sampai di ruang tamu. 

Ratna—mama Kavin yang sedang sibuk dengan televisi di depannya menoleh ke arah Kavin. “Tumben nyariin Papa, mending Abang sini, temenin Mama nonton sinetron,” Ratna menepuk sofa kosong di sebelahnya.

“Ada yang mau aku tanyain sama Papa,” jawab Kavin.

“Papa ada di teras, lagi ngopi.” Ratna memberitahu keberadaan Surya, suaminya. 

Membuka pintu utama, Kavin langsung melihat Papanya yang duduk di salah satu bangku teras, dengan tangan yang sibuk memegang ponsel ke telinga. Kavin yang masih berdiri di depan pintu, otomatis bisa mendengar percakapan papanya.

“Lo pindah lagi ke Jakarta?” tanya Surya pada orang di seberang sana.

“.....”

“Ooh, nanti kalo udah sampe Jakarta, jangan lupa mampir-mampir, Ratna pasti seneng kalo tau kalian pindah lagi ke Jakarta.”

“.....” 

“Iya, iya. Kavin juga pasti seneng ketemu temen masa kecilnya,” ucap Surya tapi kali ini diiringi dengan tawa.

“.....”

“Sip-sip.” Kavin dapat melihat Surya menyudahi percakapannya di telpon. 

“Lho! kamu ngapain di situ? Nguping telpon Papa, ya?” tuduh Surya saat melihat Kavin berdiri di depan pintu.

Kavin berjalan mendekat ke bangku yang berada di samping Surya, mendaratkan bokongnya di sana. “Gak sengaja denger, bukan nguping.”

Surya mengambil secangkir kopi yang berada di atas meja, lalu menyeruputnya. “Kamu tumben nyamperin Papa ke sini, ada yang mau ditanyain?” tanya Surya to the point setelah menaruh kembali kopi ke atas meja. 

“Pah,” ucap Kavin seraya menoleh ke samping kiri. “Papa, kan sering bilang sama Kavin kalo punya ilmu itu harus diamalkan, karena ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Gitu, kan, Pah?” Kavin masih memfokuskan diri menatap Surya. 

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang