Tamu (tak) Diundang | 18

121 16 4
                                    

Bi Inah menatap heran pemuda yang saat ini berada di depannya, celana jeans pendek yang di padu dengan kaos hitam berlengan pendek tampak begitu santai tapi juga terlihat tampan untuk ukuran pemuda di depannya saat ini. 

“Siapa, ya?” tanya Bi Inah heran.

“Saya Kavin, Bu. Temen sekolahnya Dhifa.”

“Baru kali ini ada temen cowok Non Dhifa yang main ke rumah,” ujar Bi Inah heran.

Kavin tersenyum tipis. “Saya bukan mau main, Bu, tapi mau kerja kelompok,” balas Kavin.

“Manggilnya Bibi aja jangan Ibu,” Bi Inah lalu sedikit menyingkir dari pintu. “Ayo masuk dulu, Nak Kavin,” ucap Bi Inah mempersilahkan Kavin masuk. 

Kavin mengekor di belakang Bi inah. Dan cowok itu dibuat kagum dengan interior rumah tersebut.

Ruang tamu yang berdominasi warna champagne dengan sofa yang berwarna senada membuat ruangan ini tampak begitu mewah. Belum lagi lantai yang dilapisi permadani yang Kavin perkirakan harganya pasti sangat mahal. 

“Kamu udah dateng ternyata,” ucap seorang pria paruh baya yang berasal dari ruang tengah. 

“Assalamualaikum, Om,” salam Kavin lalu mendekat untuk mencium punggung tangan David. 

“Waalaikumsalam,” jawab David lalu menerima uluran tangan Kavin. “Kamu tunggu di ruang keluarga aja, ya, soalnya Dhifa masih tidur,” ujar David sedikit meringis karena merasa tidak enak. 

Kavin hanya mengangguk lalu mengikuti Om David menuju ruang keluarga, sedangkan Bi Inah ke dapur untuk membuat minuman. 

Berbeda dengan ruang tamu, ruang keluarga ini berdominasi warna navy, dengan dinding yang tertempel berbagai macam foto. 

“Om sangat berterima kasih sama kamu karena udah mau bantu Dhifa,” ucap David saat mereka sudah duduk di sofa berwarna navy.

“Saya akan coba buat bikin nilai Dhifa naik, Om. Tapi saya gak bisa janji, karena, kan itu semua tergantung dari Dhifa juga.” 

Sebenarnya Kavin yakin kalau ia bisa membuat nilai Dhifa naik dari nilai sebelumnya, asal Dhifa bisa diajak kerja sama maka semuanya akan lancar. 

Seharusnya begitu.

David mengangguk mengerti. “Om yakin kamu bisa,” kata David sambil menatap tepat di pupil mata Kavin. “Kalo gitu Om mau ke atas dulu, mau bangunin Dhifa.”

“Biar saya aja yang bangunin, Pak,” kata Bi Inah yang datang dengan tangan memegang nampan. 

“Nggak usah, Bi. Biar saya aja.” David lalu beranjak dari duduknya, berjalan menuju tangga. 

Bi Inah menaruh minuman dan beberapa cemilan di atas meja. “Ini minuman sama cemilannya, Nak Kavin.” 

“Oh, iya. Makasih, Bi,” jawab Kavin sopan. 

“Nak Kavin ini beneran temennya Non Dhifa?” tanya Bi Inah tak percaya.

“Iya, saya temen sekolahnya.”

“Bibi kira pacarnya, soalnya cocok, yang satu cantik, yang satu ganteng,” puji Bi Inah diiringi kekehan.

Mendengar kata cantik yang keluar dari mulut Bi Inah, membuat Kavin mengalihkan pandangannya ke arah kanan dinding, di sana terdapat foto berukuran besar. Foto seorang anak perempuan yang tersenyum lebar dengan rambut dikucir dua, lengkap dengan kue dan lilin angka 5 di atasnya. Foto yang sejak awal sudah membuat Kavin terpaku.

“Bukan, Bi,” jawab Kavin sesudah menatap foto itu.

“Ya sudah kalo gitu Bibi ke dalem dulu, ya,  Nak Kavin.”

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang