Bengkel | 5

303 39 26
                                    

Bel pulang mendapat desahan lega dari seluruh murid kelas XII IPA 4. Dhifa memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas, saat Ara dan Sandra juga sibuk merapikan buku beserta alat tulisnya.

Menuruni anak tangga untuk sampai di lantai satu dan menuju ke parkiran adalah tujuan Dhifa saat ini. Tapi langkahnya terhenti saat matanya kembali menatap foto yang ada di mading samping tangga. Seperti ada magnet yang terus menarik Dhifa untuk menatap foto itu.

“Kenapa, Dhif?” tanya Ara saat melihat Dhifa terus menatap foto Kavin.

“Kavin udah keluar kelas belom?” 

“Kayaknya anak IPA 1 belum pada keluar kelas deh,” jawab Ara.

“Kita tungguin dia di sini.” lalu Dhifa berjalan melewati mading dan duduk di bangku yang berada di depan kelas X IPA 1.

“Di sini? Kenapa gak di parkiran aja?” usul Sandra.

“Iya, Dhif. Di parkiran aja,” kata Ara setuju dengan usul Sandra. 

“Sini aja,” ucapnya final

Sandra memilih berdiri di samping bangku, sedangkan Ara memilih duduk di samping Dhifa. Baru saja sekitar 2 menit berlalu yang ditunggu akhirnya muncul dari arah tangga. 

“Tuh Kavin,” ucap Sandra, Dhifa dan Ara langsung berdiri dari duduknya, ketika Kavin dan ketiga temannya berjalan melewatinya, Dhifa langsung menghadang jalan Kavin dengan berdiri di depannya. 

“Gue cuma mau ngingetin soal mobil.” Dhifa dapat melihat Kavin menghela nafas. 

“Gue gak lupa,” balas Kavin membuat ketiga sahabatnya memandang Kavin dan Dhifa secara bergantian. 

“Mereka ada urusan apaan?” bisik Liam pada Vano.

Vano mendekatkan bibirnya ke telinga Liam. “Gue juga gak tau.”

“Bagus kalo gitu, sekarang kita ke bengkel, gue yang nentuin bengkelnya,” ucap Dhifa. “Lo berdua pulang duluan, ya, pada bawa mobil gak?” tanya Dhifa pada kedua sahabatnya. 

“Gue bawa, nanti Ara sekalian sama gue,” ujar Sandra.

“Ya udah. Kita duluan, Dhif. Lo hati-hati,” pamit Ara.

“Iya.” 

Kini giliran Kavin yang menatap ketiga sahabatnya, seakan mengerti tatapan Kavin, Edwin lebih dulu membuka suara. “Lo hati-hati, kalo butuh bantuan bisa langsung kontek kita,” ucap Edwin sambil menepuk pundak Kavin.

Dhifa yang mendengarnya memutar bola mata malas. “Temen lo gak bakal gue apa-apain. Lebay banget, sih.” 

“Gak ada yang tau, singa betina bisa ngamuk kapan aja,” celetuk Liam yang dihadiahi pelototan tajam dari Dhifa. 

“Lemes juga, ya mulut lo!” Dhifa maju selangkah lebih dekat dengan Liam.

“Udah-udah,” Edwin menarik Liam menjauh dari Dhifa karena tak ingin ada keributan. “Kita duluan,” pamitnya sambil menarik Liam ikut bersamanya. 

*****

Kavin tidak pernah sekalipun ingin mengumpat di depan perempuan, tapi kali ini rasanya berbeda, ia benar-benar ingin meloloskan kalimat umpatan dari bibirnya kalau saja ia tidak cukup menahannya. 

Perempuan di hadapannya saat ini sangat menguras emosi. Bahkan jam sudah menunjukkan pukul 15:40 sudah lewat empat puluh menit berlalu dari bel pulang sekolah berbunyi. Harusnya Kavin sudah sampai di rumah, bukan terjebak di parkiran sekolah bersama perempuan keras kepala semacam Dhifa. 

Kavin bahkan sudah selesai salat ashar di masjid SMA Cempaka, berharap ketika dia kembali ke parkiran, Dhifa sudah berhasil menghubungi nomor Mang Ujang—orang yang katanya bekerja sebagai supir pribadi papanya.

NADHIFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang