Seketika tubuh Kian membeku bagaikan patung. Benih-benih cinta yang beberapa hari terakhir ini mulai bersemi kembali di hati, mendadak layu mendengar pengakuan dari mulut Senandung. Bahwa, ternyata bocah perempuan menggemaskan itu adalah putrinya.
Setelah seperkian menit mematung. Kian mulai mengatur napasnya perlahan. Berdamai dengan hati kecil, dan berusaha memeluk kenyataan pahit itu.
"Jadi, kau sudah me-nikah?" tanya Kian dengan suara yang bergetar.
Sekali lagi, Senadung hanya terdiam. Bahkan tatapan matanya yang tadi tampak tenang, kini berubah menjadi dingin mendengar pertanyaan Kian.
"Maaf. Saya masih banyak pekerjaan di dalam."
Tanpa menunggu reaksi dari Kian, wanita itu masuk dan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Melihat itu, Kian hanya mampu mendengkus gusar. Setelah mengusap wajahnya dengan kasar, pemuda itu melangkah menuju mobil berniat untuk pulang.
Namun, baru saja dia hendak membuka pintu mobil, terdengar suara isak tangis dari anak Senandung. Bocah kecil itu berjalan tertatih sambil berurai air mata, sedang gadis belia yang bersamanya tampak membujuknya agar berhenti menangis sambil menuntun sepeda.
"Hei ... ada apa ini?" tanya Kian perhatian.
"Bira, jatuh dari sepeda, Kak." Gadis belia itu yang menjawab.
"Coba lihat!"
Bocah kecil itu memperlihatkan sikut dan lututnya yang lecet.
"Sakit?" tanya Kian lembut.
"Banget. Susah jalannya. Hu ... Hu," jawab bocah kecil itu di sela isak tangisnya.
"Itu cuma lecet, Ra. Jangan manja begitu!" sergah sang gadis tampak gemas.
"Tapi sakit, Mbak. Jalanku susah, suruh gendong malah gak mau. Hu hu ...." Kembali bocah itu tersedu, terdengar pilu walau tidak menyayat hati, jelas sekali dia merasakan sakit.
"Kalo aku gendong kamu, siapa yang bawa sepeda ini?" Si gadis mendengkus sebal.
"Sudah. Sini biar om yang gendong."
Tanpa berpikir dua kali, bocah itu langsung merentangkan kedua tangan. Sang Gadis kecil tampak menyeringai puas, saat dengan lembut Kian menggendong tubuh mungilnya. Seketika itu juga, dia melupakan rasa sakitnya.
Si gadis belia hanya mampu mengerucutkan bibir, lalu dia berjalan mendahului Kian menuju pintu rumah.
Senandung muncul, setelah pintu tiga kali diketuk oleh si gadis belia.
"Ada apa ini?" tanya Senandung melihat pipi putri mungilnya basah oleh air mata.
"Bunda ...." Bocah kecil itu kembali menangis.
Kian segera menurunkan gadis kecil itu dari gendongan. Dengan manja bocah kecil itu memeluk ibunya sambil mengadu.
"Cuma lecet doang, Mbak Sena. Itu juga Bira yang ngeyel. Disuruh pelan-pelan ngayuhnya, malah ngebut. Ya udah tergelincir dia." Si gadis belia berujar.
"Ya udah, tolong kamu ambilin air sama kotak obat ya!"
Si gadis belia mengangguk mematuhi perintah Senandung, lalu dia segera masuk mengambil peralatan yang telah diperintahkan.
Tak lama gadis itu muncul dengan baskom berisi air dan kotak obat. Dengan cekatan Senandung segera membersihkan luka anaknya. Bocah itu mengerang kesakitan, merasakan perih saat air yang dibasuh sang ibu mengenai luka. Bahkan Bira menolak, saat Senandung hendak menempelkan plester pada lutut dan sikunya
Akhirnya, Kian turut membujuk Bira. Dengan lembut dia meminta bocah kecil itu memperbolehkan lukanya ditutup dengan kasa, agar tidak kotor dan terkena infeksi. Anak Senandung mengiyakan anjuran Kian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Lama Bersemi Kembali (Senandung)
RomanceDitinggal pas sayang-sayangnya. Ketika Senandung sudah mulai move-on dengan mau membuka hati untuk Kian, teman masa lalu. Ale sang mantan suami justru kembali menawarkan kenyamanan.