21. Gembira Sayang Ale

1.1K 76 13
                                    

"Kamu berhutang penjelasan padaku, Le!"

Melihat kedua orangtuanya saling berdebat, Gembira datang mendekat. Tangan kecilnya meraih jemari sang bunda sembari bertanya," Kenapa semua orang pada marah-marah sama ayah? Tadi om Kian, sekarang Bunda."

"Ah ... tidak apa-apa kok, Sayang. Sekarang kita turun buat lihat kolam renang. Ayuk!" Ale yang menjawab pertanyaan sang putri untuk Senandung.

Kemudian, Aleandra bergegas menggandeng tangan Gembira menuruni anak tangga. Keduanya menuju kolam renang dalam rumah itu.

Senandung menghentakan kakinya dengan kesal, karena Ale tak juga menjawab rasa penasarannya. Walaupun merasa keki, dia mengikuti ayah dan anak itu turun.

Ale masih saja terdiam saat mengetahui Senandung sudah berada di sampingnya. Mata lelaki itu mengawasi sang buah hati yang tampak asyik menciprat-cipratkan air kolam renang.

Kemudian, setelah tampak puas bermain air, Gembira tampak berlari menuju ayunan yang terdapat di sebuah taman kecil pada sudut rumah itu.

Bocah itu bermain ayunan dengan riang. Apalagi saat sang ayah mendorong ayunan itu tinggi-tingi, Gembira terlihat amat bahagia. Tak dihiraukan larangan sang ibu yang menyuruhnya berhenti karena takut ia jatuh.

Setelah melihat sang anak keletihan. Ale dan Senandung memutuskan untuk segera pulang. Dalam perjalanan bocah itu tertidur dalam pangkuan sang bunda.

"Ale. Tolong jelaskan semua maksud perkataan Kian tentangmu. Jangan biarkan aku penasaran dibuatnya!"

Kali ini Senandung memohon dengan suara yang memelas. Membuat Ale merasa iba dibuatnya. Sekilas lelaki itu melirik ke wanita pujaannya, lalu kembali fokus pada kemudi.

"Ale ...."

"Sena. Aku mohon diamlah! Saat ini aku belum punya keberanian untuk mengungkap semua rahasia ini. Jadi, bersabarlah sampai waktunya tiba!"

Ale menyela teguran Senandung dengan tegas. Membuat wanita itu mendecih kesal karenanya. Namun, dia tak peduli. Mulutnya masih setia bungkam sampai mereka tiba di rumah.

Begitu mobil berhenti di halaman, Ale bergegas mengambil alih membopong tubuh sang putri dari dekapan Senandung. Bahkan, lelaki itu mengacuhkan Epa yang membuka pintu dengan tatapan asing padanya. Karena gadis itu memang belum pernah melihat dia sebelumnya.

Sangat hati-hati Ale merebahkan tubuh kecil Bira ke ranjang. Setelah mengusap lembut rambut sang putri, lelaki itu bergegas keluar. Namun, lengannya ditarik oleh sang putri. Ternyata bocah itu terjaga dari tidur.

"Ayah, mau ke mana?" tanya Gembira kemudian. Bocah itu mendekap tubuh sang ayah dengan erat, seakan takut ditinggal lagi. Dia juga membenamkan wajahnya pada perut rata Ale.

Ale membalas pelukan sang putri dengan hangat. Memberi rasa nyaman pada anaknya dengan usapan lembut di punggung. Beberapa menit kemudian dia melepaskan dekapan itu sembari berjanji," Ayah pulang dulu, ya. Besok main lagi ke mari."

"Kenapa pulang? Kenapa tidak tinggal di sini saja?" tanya Gembira setengah merajuk.

Ale terdiam tak dapat menjawab pertanyaan sang putri. Lelaki itu menoleh ke Senandung. Dengan dagunya dia meminta agar wanita itu membujuk Gembira.

"Bira. Biarkan ayahmu pulang dulu buat ambil baju. Lain waktu kan bisa ke mari lagi." Senandung segera menggendong sang putri, lalu dengan matanya dia menyuruh Ale untuk segera pergi.

Ale pun mengangguk. Kemudian lelaki itu mengusap rambut Gembira lembut seraya berjanji," Besok kalo ke sini akan ayah bawakan boneka panda besar buat Bira."

"Benarkah?" Gembira memastikan. Mata lentiknya berkedip-kedip lucu. Ale yang melihatnya tersenyum simpul. Pria itu mengangguk mantap. Kemudian keduanya saling menakutkan jari kelingking.

"Aku pergi, Sena," pamit Ale. Kemudian lelaki itu mendekat dan berbisik pada telinga Senandung," Aku masih sangat mencintai kamu."

Usai berkata seperti itu lelaki itu bergegas keluar, setelah terlebih dulu melempar senyum ramah pada Epa yang memperhatikan dirinya tanpa berkedip.

"Bunda. Bira masih mengantuk. Pingin bobo lagi."

Rengekan Gembira dibalas anggukan oleh Senandung. Kemudian wanita itu menemani sang putri untuk kembali terlelap. Dengan usapan lembutnya, tak butuh waktu lama buat si kecil kembali tertidur.

Begitu melihat Gembira tertidur pulas, Epa segera mendekati Senandung. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil bertanya,"Jadi lelaki tadi adalah ayahnya Bira, Sena?"

Senandung bangkit dari rebahan, lalu mengangguk untuk membalas pertanyaan sang kawan. Tampak mata dan mulut Epa membulat melihat pengakuan Senandung. Lantas dengan enteng gadis itu berujar, "Pantas kamu susah move-on dari dia. Cakepnya kebangetan. Siwon Suju aja lewat."

Senandung diam saja tak menggubris kelakar sang kawan. Wanita itu tengah menatap sang putri yang tampak damai dalam lelapnya.

"Ayah ... Ayah!"

Terdengar Gembira mengigau. Bocah itu sepertinya tengah mengimpikan sang ayah. Maka penuh kasih sayang Senandung menepuk-nepuk paha anaknya dengan lembut. Kemudian memberikan sebuah guling agar dipeluk sang anak.

"Lihatlah! Bira begitu merindukan ayahnya sampai terbawa mimpi," ujar Senandung pada Epa kemudian.

"Ow ... ow ... ow. Itu bukan alasan bagimu untuk balikan lagi sama dia. Ingat! Seberapa menderita hidupmu oleh perlakuan orangtuanya. Juga kemarin kamu bilang, dia adik iparnya Kian, kan?"

"Siapa yang bilang aku mau balikan sama dia? Aku cuma bicara bahwa Bira begitu amat merindukannya," sergah Senandung kesal.

"Dari caramu melihat dia. Aku yakin kamu masih sangat mencintai dia. Iya kan, Sena?" tebak Epa yakin.

Senandung hanya terbungkam. Tak dapat dipungkiri kalau Ale lah yang memiliki separuh hatinya.

"Oh tidak, Sena. Jangan melakukan kesalahan yang sama. Menjadi duri dalam rumah tangga orang! Ingat ada Kian yang begitu tulus menerimamu apa adanya." Epa memberi nasihat sembari memegang pundak Senandung.

"Entahlah." Senandung galau. Dia melepas pegangan Epa pada pundaknya.

"Arghhh ... kalo begitu ganti saja judul kisah ini. Jangan Senandung, tapi pelakor yang tak kunjung insaf," ejek Epa sinis.

Senandung merasa kesal mendengar kelakar Epa yang menyebalkan. Dengan berang wanita itu menimpuk karibnya dengan bantal.

"Hanya keledai bodoh yang jatuh pada lubang yang sama!"

"Epa!" seru Senandung. Matanya mendelik sebal.

Kali ini Senandung melempar Epa dengan boneka kepunyaan sang anak. Namun, kawannya itu menghindar pergi sembari menjulurkan lidahnya.

Senandung mendelik sebal ke Epa sampai gadis itu tak terlihat lagi karena menutup pintu kamar untuk keluar.

Beberapa detik kemudian, Senandung termangu. Dia memikirkan semua omongan sahabatnya barusan.

Ya ... omongan Epa benar. Senandung mengakuinya. Wanita itu menatap sang putri yang masih terbuai mimpi. Tanpa sadar dia mengecup kening gadis kecilnya.

Tersenyum Senandung menatap wajah damai Gembira yang terlelap. Baginya, mata dan hidung sang buah hati selalu mengingatkan dia akan Ale, karena saking miripnya.

Beberapa menit kemudian, Senandung teringat akan Kian. Wanita itu kembali heran, kenapa Kian sebegitu marahnya pada Ale.

'Kenapa Kian menuduh Ale sebagai pengkhianat?' batin Senandung bingung.

"Aku harus menemui Kian secepatnya, supaya kebingungan ini tidak terus melanda di hatiku," gumam Senandung pasti.

Next.

Cinta Lama Bersemi Kembali (Senandung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang