Selepas kepulangan Ale dari rumahnya, pikiran Senandung selalu tertuju pada Kian. Wanita itu berpikir keras, kenapa Kian sangat marah saat tahu jika Ale adalah mantan suaminya. Apa yang membuat pria itu terlihat begitu terluka.
Rasa penasaran akut itulah yang mendorong Senandung menjumpai Kian esok hari. Wanita itu mengundang Kian ke rumah.
Kian yang pada dasarnya sayang sama dirinya juga Gembira, tanpa berpikir dua kali memenuhi undangan tersebut. Bahkan di tengah jalan, Kian menepikan mobilnya di depan toko boneka. Lelaki itu membeli sebuah boneka babi yang sangat besar untuk Gembira. Berharap hadiah tersebut bisa diterima.
Namun, dugaan Kian meleset. Gembira sama sekali tidak menyukai hadiah yang ia bawa. Bocah itu menggeleng tegas.
"Aku gak mau hadiah itu. Boneka babinya jelek." Gembira menolak dengan memasang wajah garang. "Om Kian jahat! Kenapa kemarin memukuli ayahku?" Matanya mendelik menatap Kian tak suka. Padahal kemarin-kemarin sebelum bertemu Ale, bocah itu amat menyayangi Kian. Merindukan pria itu jika beberapa hari tidak bertandang ke rumah.
"Ep, tolong bawa Bira pergi, ya!" pinta Senandung lembut pada karibnya.
Epa yang kebetulan sedang tidak ada shift segera mengiyakan permintaan sang kawan. Namun, sayangnya Gembira menolak.
"Gak mau! Bira mau di sini saja!" Gembira bersikeras saat lengannya digandeng Epa. Namun, bocah itu tidak bisa melawan lagi saat Senandung membujuknya dengan sedikit berdusta jika mereka akan pergi menemui sang ayah.
"Kian, sebenarnya apa yang membuatmu marah saat mengetahui jika ayah dari Gembira adalah Ale? Kenapa? Apa ada yang salah?" cecar Senandung begitu Epa dan Gembira berlalu pergi.
"Jadi Ale belum berterus terang sana kamu?" Kian malah balik bertanya.
Senandung menggeleng lemah. "Ale bilang dia belum siap mengungkap semuanya."
Kian mendengkus sinis. "Dasar pengecut!" Mulutnya mengumpat kesal.
"Tolong jangan buat aku mati penasaran, Kian. Coba ceritakan padaku tentang rahasia kalian yang tidak kuketahui!" suruh Senandung setengah memerintah.
Kian menggeleng. "Biar Ale sendiri yang bercerita tentang pengkhianatan dia padaku, Sena.
"Tapi dia tidak bersedia."
"Atur saja siasat. Buat seolah kalian ingin pergi berkencan." Kian memberi usul.
"Begitu?"
"Ya, aku ingin kamu tahu kejujurannya dari mulut Ale sendiri."
"Oke. Besok aku akan mengajaknya bertemu," putus Senandung, "dan kamu harus datang untuk menjernihkan semua."
"Baik. Aku pasti akan datang." Kian menyanggupi dengan anggukan.
Setelah dirasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, Kian pamit pulang. Senandung pun mengizinkan. Wanita itu mengantar Kian sampai ke mobilnya. Setelah mengucap salam perpisahan, Kian memacu mobilnya menuju kantornya kembali.
***
Sementara itu di rumah AlePerawatan dari Syifa membuat lebam-lebam biru di wajah Ale menghilang. Namun, dia sengaja tidak masuk kantor selama tiga hari untuk menyembuhkannya terlebih dahulu.
Selama cuti ia menghabiskan waktu di rumah saja. Sembari terus memikirkan langkah apa yang harus diambil. Ale masih sangat mencintai Senandung. Dan sangat berharap bisa menjalin kembali hubungan dengan wanita itu. Apalagi jika teringat Gembira, Ale tidak mau kelihangan putrinya.
Setelah waktu cutinya habis, Ale kembali masuk kerja.
Siang itu ketika Aleandra tengah sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerja. Terdengar bunyi chat masuk pada ponsel pintar. Pria itu menoleh sekilas pada gadgetnya. Kesibukan membuat ia mengabaikan benda tersebut.
Sayangnya ponselnya terus saja bergetar. Akhirnya dengan sedikit malas, dia mengambil benda pipih persegi itu. Sebelum membaca isi chat, lelaki itu tampak melepas kacamata yang menghias mata teduhnya. Dia menekan pangkal hidung perlahan, berharap pusing yang mendera pikiran segera sirna. Berkas yang menumpuk membuat kepalanya terasa mau pecah.
Seketika bibirnya melengkung ke atas. Matanya mengerjap melihat siapa pengirim pesan. Hatinya merasa gembira membaca isi chat yang dikirim Senandung padanya.
[Datanglah ke taman tempat biasa dulu kita bersua!]
[Aku menunggumu!]
"Kamu memang masih sangat mencintaiku, Sena," ujarnya bahagia. "Bahkan, kamu ingin kita bernostalgia di tempat itu." Ale tersenyum semringah.
Tanpa membuang waktu Ale segera memasukan ponsel mahalnya ke saku kemeja putih yang dikenakan. Merapikan penampilannya yang sedikit berantakan. Sebuah sisir di saku celana ia ambil. Menyisir sebentar rambutnya agar terlihat rapi. Ia mau Senandung selalu terpukau padanya.
Setelah merasa cukup rapi, Ale gegas menyambar kunci mobil dalam laci. Dengan langkah yang ringan lelaki itu keluar ruangan. Namun, langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan sekertarisnya di pintu.
"Pak Ale, waktu meeting tinggal setengah jam lagi." Sang sekertaris memberi tahu dengan sopan. Wanita berblazer dan rok span hitam itu menunduk hormat.
"Batalkan!" sahut Ale enteng.
"Tapi, Pak. Bukankah Bapak yang meminta untuk-"
"Aku bilang batalkan! TITIK!" perintah Ale tak terbantahkan.
Lelaki itu berlalu meninggalkan sang sekertaris yang hanya bisa mengangguk lemah. Begitu Ale berlalu, wanita berusia akhir dua puluhan itu menggeleng-geleng bingung.
Ale sendiri memacu mobil diiringi siulan. Lelaki itu menuju lokasi yang diinstruksikan Senandung. Sebuah taman yang sering mereka habiskan bersama dulu. Sepanjang perjalanan, dia menyunggingkan senyum simpul. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di tempat yang dimaksud Senandung.
Setelah memarkir kendaraan dengan rapi, lelaki itu bergegas turun dari mobil. Pandangannya mengitari setiap sudut taman tersebut. Baginya suasana dan keadaan masih sama seperti enam tahun silam, saat dirinya kerap menghabiskan waktu di situ bersama Senandung.
Kemudian penuh langkah pasti karena dilanda kebahagiaan yang membuncah, Ale menuju bangku depan air mancur. Benar adanya. Senandung sudah menunggu kedatangannya di situ.
Pelan, Ale memegang pundak Senandung. Membuat wanita yang tengah merenung itu menoleh. Tersenyum manis Ale pada wanita pujaan hati, tetapi sang mantan istri hanya tersenyum tipis menanggapi.
"Kamu ingin kita bernostalgia di tempat ini, Sena?" ledek Ale semringah. Lelaki itu gegas duduk di sebelah Senandung. Matanya terus memindai Senandung yang kian hari semakin cantik di matanya.
Senandung hanya menyeringai datar mendengar ledekan Ale. Kemudian dengan tegas dia berkata," Bukan. Aku ingin kau menceritakan semua rahasia antara kau dan Kian."
Terdengar Ale mendesah. Kemudian tangannya meraih kerikil kecil di bawah bangku. Lantas untuk membuang rasa kecewa akibat mendengar penuturan sang mantan, segera ia lempar batu kecil itu ke kolam air mancur dengan keras.
"Sudah kubilang aku belum siap, Sena," keluh Ale lemah.
"Oke. Kalo kau belum siap biar Kian saja yang menjelaskan semua," tukas Senandung tegas.
"Ma-maksudmu?" tanya Ale tergetar.
"Iya. Biar aku saja yang jelaskan semuanya ke Sena."
Suara Kian yang tiba-tiba muncul dari belakang, membuat Ale terperanjat. Lelaki itu menelan ludahnya yang terasa pahit. Takut dan gugup membuat pria itu sontak menunduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Lama Bersemi Kembali (Senandung)
عاطفيةDitinggal pas sayang-sayangnya. Ketika Senandung sudah mulai move-on dengan mau membuka hati untuk Kian, teman masa lalu. Ale sang mantan suami justru kembali menawarkan kenyamanan.