Madu Sepahit Empedu 3

31 5 0
                                    

Setelah ba'da ashar, Maira pamit pulang dari rumah Nabila. Ia telah menenangkan temannya itu. Sayangnya, ia tidak bisa menenangkan dirinya sendiri. Kepalanya terasa berat ketika melintasi jalanan yang sedikit sepi dengan berjalan kaki. Sejurus kemudian pandangannya terasa kabur dan ia tidak mengingat apa-apa lagi.

...

"Can you speak in Bahasa Indonesia?" Tanya seorang lelaki berjas putih yang bisa dikenal sebagai dokter.

Maira mengangguk. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Dirabanya kepala dan wajahnya. Alhamdulillah, kerudung serta cadarnya masih terpasang dengan benar, hanya saja cadarnya sedikit kendur.

"Sejak kapan saya di sini? Siapa yang membawa saya?"

"Sejak sepuluh menit lalu. Anda di bawa ke sini oleh seorang lelaki. Dia masih menunggu di depan. Mau saya panggilkan?" Tanya si suster.

Maira mengangguk. Ia menunggu si lelaki yang menolongnya masuk dan menemuinya. Dalam hati ia bersyukur masih ada lelaki baik yang mau menolongnya dan tidak berbuat macam-macam padanya.

"Assalaamu'alaikum."

"Waalaikumsalam."
Maira menolehkan wajahnya ke arah suara pemberi salam. Ia terkejut. Ia tak menyangka akan melihat laki-laki itu kembali hari ini.

"Gimana keadaan antum, ukhti? Baik-baik aja?" Tanya Rafael sambil tersenyum. Ia tidak menyadari bahwa yang ia tolong adalah Maira, putri gurunya.

"Kamu gak mengenali saya?" Tanya Maira dalam bahasa Arab. Lelaki itu kurang mengerti. Ia meminta Maira menggunakan bahasa Indonesia. "Kamu gak mengenali saya?" Tanya Maira, kini menggunakan bahasa Indonesia.

Rafael mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mengingat-ingat apakah ia mengenal perempuan bercadar itu atau tidak. Ia menyeringai. "Kita pernah ketemu sebelumnya?"

"Rafael, ini saya, Maira. Putri bungsu guru kamu, bu Lulu."

Maira perlahan duduk. Rafael tampak sedikit terkejut mendengar pengakuan Maira. "Mai, aku gak tau ini kamu." Katanya sambil sedikit membantu Maira untuk duduk, tapi perempuan itu menolak di bantu.

"Gak apa-apa." Maira membenarkan cadarnya yang sedikit mengendur.

"Gimana kabar kamu, Mai? Selama ini kok gak pernah keliatan, gak pernah ada kabar?" Tanya Rafael sambil memperhatikan mata gadis itu.

"Panjang ceritanya, Rafael. Saya gak bisa cerita sekarang. Lain waktu mungkin akan saya ceritakan, ya. Sekarang saya harus pulang."

"Kamu kan masih lemas, di sini aja dulu."

"Bunda sama ayah pasti nyariin saya. Di rumah ada bang Ali. Kalau dia tau saya pingsan di jalan, dia pasti khawatir."

"Serius, Mai? Aku takutnya kamu kenapa-napa lagi di jalan."

"Saya baik-baik aja. Tapi, gamis saya gak kotor, kan?"

"Sedikit di bagian ujung gamisnya. Bagian lainnya bersih. Aku buru-buru angkat kamu waktu liat kamu pingsan."

Maira mengangguk. Ia berdiri untuk kemudian meraih tasnya di atas meja di samping bangsalnya. Ia berjalan di papah seorang suster sampai ke depan kamar perawatan, selebihnya ia jalan sendiri. Rafael tidak tega melihatnya, tapi mau bagaimana lagi? Ia ada janji bertemu dengan calon istrinya. Kalau calon istrinya tahu ia mengantarkan Maira pulang, maka bisa saja ia batal nikah karena salah paham.

"Mai..." panggil Rafael. Maira menoleh padanya. "Aku pesenin grab mobil ya sampe ke rumah kamu. Aku minta maaf gak bisa nganterin, soalnya aku ada urusan."

"Saya bisa pesan sendiri, Rafael."

"Gapapa, gapapa. Tunggu, ya." Rafael memesankan grab mobil secepat yang ia bisa. Setelah ia memastikan Maira naik ke mobil, ia baru bisa merasa lega. Ia pun beranjak meninggalkan rumah sakit setelah membayar semua biaya administrasi.

The Family Of LYQAENSIFU Part IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang