"...Maira, Aku Mencintaimu..."

43 4 7
                                    

"Untukmu, permata yang jauh dari pelukan.

Kau masih akan jadi tulip dalam hatiku.
Kau akan tetap jadi semerbak mawar yang memabukkanku.
Kau adalah matahari cintaku.
Kau wujud mimpi dalam nyataku.
Jerman, Mesir, bahkan Indonesia sekali pun aku akan tetap mencintaimu.
Tunggu, aku pasti mencarimu.

Muhammad Affandi Enchen
Heidelberg, Jerman, 2021"

Maira menutup secarik kertas yang tak sengaja ia temukan di dalam jurnal kecilnya. Jurnal itu sudah lama tidak pernah dibuka. Mungkin sekitar 2 tahun lamanya. Sejak lulus dan mendapatkan gelar Sp.JP nya di Heidelberg, Jerman, Maira tidak pernah lagi membuka jurnal itu. Ia anggap semuanya khatam.

Lelaki bernama Affandi atau yang akrab di sapa Fandi itu adalah teman satu universitasnya selama di Jerman. Ibunya seorang mualaf asal Jerman dan ayahnya berasal dari Indonesia, tapi mereka semua tinggal di Jerman. Maira pernah bertemu ayah Fandi dan bicara dengan bahasa Indonesia. Masih lancar. Fandi orangnya baik, humoris, dan romantis. Setiap pagi Maira selalu dapat kiriman susu dan cokelat. Seminggu sekali buket tulip dan mawar yang masih segar selalu ada di depan flatnya. Harus diakui, Maira menyukai kejutan-kejutan manis itu. Tapi sayangnya, ia anggap perlakuan baik Fandi padanya hanya sebagai teman.

Ini hari kelima Maira bekerja sebagai dokter spesialis jantung. Ia menghela napas di balik cadarnya. Sesaat kemudian ingatannya tentang sesuatu membuat air matanya merembes. Tapi kesedihan itu tak berlangsung lama saat seseorang mengetuk pintu ruangannya. Ia mempersilakan masuk.

"Selamat pagi dokter Maira. Ada yang mau di pesan untuk sarapan?" Tanya seorang perempuan berbaju suster. Ada pin nama di dadanya, tapi Maira tidak bisa melihatnya dengan jelas.

"Maaf, saya sedang berpuasa." Ujar Maira dalam bahasa Arab.

"Can you speak in Indonesia?"

Ya ampun, ia lupa, ini tempat kerja, seharusnya ia menggunakan bahasa Indonesia. "Maafkan saya. Terima kasih, tapi saya sedang berpuasa." Ulangnya.

"Oh, tapi kalau butuh sesuatu anda bisa hubungi saya. Atau panggil saya. Saya Tessa. Asisten suster baru untuk anda." Si suster tersenyum. Ia kemudian pamit dan meninggalkan ruangan Maira.

Sambil menunggu dan mengira-ngira pekerjaan apa yang akan ia lakukan di rumah sakit pagi ini, Maira membuka galeri ponselnya. Banyak sekali sisa kenangannya bersama Aiman---anak teman majelis ayahnya dulu---lelaki yang katanya akan menikahinya. Bagaimana cara menjelaskan ini pada dirinya sendiri? Apakah ia telah patah hati hingga tak bisa membuka hati untuk lelaki mana pun? Atau ia memang tidak ditakdirkan bersama siapa-siapa?

Maira membuka tasnya. Mengambil sebuah gantungan kunci berbentuk hati berwarna biru muda pemberian Aiman.
"Kamu adalah perempuan pertama yang bisa langsung akrab dengan saya. Jujur, saya juga kaget waktu tau kalau kamu nggak pernah dekat dengan laki-laki mana pun sebelum saya. Sebagai tanda terima kasih saya karena kamu mau berkenalan dengan saya, saya berikan ini. Itu hadiah ulang tahun ke 17 saya. Simpan, ya."
Kata-kata itu masih melekat dalam ingatan Maira. Ia masih ingat bagaimana Aiman dengan peci hitamnya datang bersama ayah dan ibunya ke rumah untuk melamarnya.

"Saya akan izinkan kamu melanjutkan pendidikan kamu dimana pun kamu mau. Al-Azhar? Ruprecht-Karls Universitat Heidelbergh? Atau dimana pun."
Itu juga salah satu perkataan yang masih dikenang Maira. Sayangnya sejak hari lamaran itu, Maira tak pernah lagi melihat Aiman. Ia bahkan dilarang bertemu Aiman.

Air mata tanpa sengaja meleleh di pipinya. Cadarnya basah. "Maafkan aku, ya Allah. Kalau ternyata cintaku pada ciptaan-Mu melebihi cintaku pada-Mu. Sungguh berdosa aku ini." Gumamnya sambil memejamkan mata.

The Family Of LYQAENSIFU Part IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang