Bagian 2. Salah Paham

5.6K 308 0
                                    

Pov Wafi

Sudah lima belas menit kami duduk di ranjang pengantin penuh kelopak mawar merah. Tanpa ada yang menyapa, bahkan untuk sekadar memberi salam. Aku tahu, harusnya kewajibanku sebagai suami adalah menyapa duluan, bukankah wanita itu pemalu. Tapi, ah, rasanya suaraku tertahan di tenggorokan saat hendak keluar.

Jika di kampus, aku begitu welcome dengan mahasiswaku, tapi kenapa di kamar ini, nyaliku menciut. Apa karena dia masih terlalu muda, atau karena wajahnya tertutup cadar. Rasanya ingin sekali aku membuka penutup wajah itu, agar aku tahu seperti apa rupa wanita yang telah kupilih jadi istri tanpa melihat terlebih dahulu wajahnya.

Bahkan, saat Mama bersikeras agar aku ikut mereka sewaktu masa khitbah, dengan yakinnya aku menolak, melimpahkan semua keistimewaan itu pada kedua orang tua.

Aku melirik dia yang tampak ayu dalam balutan gamis berwarna abu tua. Sedari tadi di pelaminan, hanya sesekali aku melihatnya mengangkat kepala, selebihnya menunduk.
Wah beruntungnya aku menikahi gadis pemalu. Walau katanya, yang pemalu itu sulit ditaklukkan.

Detik berikutnya aku mulai berpikir, bagaimana cara mencairkan suasana diantara kami. Lebih baik basa basi ke kamar mandi. Tapi, mendadak aku lupa namanya. Ah, ada apa dengan diri ini?

"Salsabila, maaf, bolehkah saya meminjam kamar mandimu?"

Astaghfirullah, benar saja, dia terlonjak. Ampuni diri ini ya Allah.

"Nama saya Zanjabila, Mas? Bukan Salsabila ...."

Kurutuki diri dalam hati. Bisa-bisanya melupakan nama seorang gadis yang tadi pagi baru saja kupinta pada Allah untuk menjadi istri.

"Owh, maaf ya? Mas sulit mengingatnya."

Dia membuang pandangan, mungkin sangat kesal bin nyesek, punya suami lupa sama nama istri.

"Nggih, nggak papa, Mas," jawabnya detik kemudian sambil menunduk, sepertinya berusaha menutupi raut wajahnya agar tak terbaca olehku.

"Kamu nggak marah 'kan?" Kupastikan kembali apa yang baru saja terpikir olehku. Bagaimana jika ia minta cerai? Robbi, jangan sampai hal itu terjadi.

"Nggih, nggak papa, Mas. Jika Sampeyan mau ke kamar mandi, silahkan gunakan saja kamar mandi yang di dalam. Handuknya juga sudah saya gantung di gantungannya. Saya permisi keluar sebentar. Mau bantu-bantu di dapur."

Apa? Bantu-bantu katanya?

Tega nian njenengan, Dik. Mau ninggalin suami di kamar sendirian.

Aku harus menahan kepergiannya. Tapi gimana caranya, masak iya aku genggam jemarinya. Terus dia berbalik menatap wajahku. Lalu ... ah, kebanyakan menghayal!

"Em ...."

Belum sempat aku berkata, dia sudah berlalu pergi. Ah, malam pertama yang tertunda ini mah namanya.

Tak masalah, sesaat lagi ketika dia masuk. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah, memintanya duduk di sebelahku, lalu basa basi nanya perasaannya, nanya keluarga, kemana ia ingin melanjutkan pendidikannya. Ya, begitu saja. Selanjutnya, biarlah waktu yang kan menjawab.

Lima belas menit berlalu. "Kenapa dia lama sekali?"

Huawww...

Aku menguap beberapa kali, mungkin karena terlalu lelah. Beberapa hari inipun aku tak berhenti bekerja. Membimbing mahasiswa dan mengajar. Rasanya baru kemarin lajang, Eh malam ini udah jadi suami.

"Hihihi..."

"Ah, benar-benar lama!"

Huawww...

"Aku benar-benar ngantuk. Pejam sebentar, mudah-mudahan Zanjabila mau membangunkanku."

***

Pov Bila

Drerrrt...! Dreetttrt! 

Suara getaran ponsel Wafi yang tergeletak di atas nakas, membuat air mataku berhenti mengalir. Kugerakkan tubuhku, melirik Mas Wafi yang tertidur begitu pulas.

"Tidur saja ia tampan. Ah, Mas Wafi memang tampan. Andai saja, tak ada nama wanita lain di hidupnya. Aku pasti sangat bahagia."

Kualihkan pandangan menatap ponsel, sambil menyapu mata kugerakkan tangan mengambil benda pipih tersebut.

"Mama?"

'Ada apa Mama nelpon malam-malam begini?'

Segera aku menggeser tombol panggilan ke kanan.

"Assalamualaikum, Ma."

"Waalaikum salam. Maaf Nak Bila, mengganggu malam pengantin kalian ...."

Aku menelan saliva, sejenak berpikir pasti Mama Mas Wafi mengira kami baru saja selesai melakukan kegiatan malam bersama. Makanya Mas Wafi ketiduran. Aduh...memalukan sekali ....

"Bila ... kamulah disitu?" Mama mengulang pertanyaannya dengan terengah-engah.

"Ehm, iya, Ma."

"Wafi ada, Sayang?"

"Mas Wafi sudah tidur, Ma."

"Bangunkan sebentar, Bila. Mama mau bicara, penting."

'Ya Salam, bagaimana membangunkan lelaki ini. Dimana kau harus menyentuhnya. Ah, di bahu aja. Aman.

Kugerakkan tangan menyentuh bahu Mas Wafi yang tampak sedikit berotot. Satu sentuhan tak mampu membangunkan lelaki yang tidur begitu pulas ini. Kudekatkan tubuh, lalu menggerakkan tangan kembali menyentuh pipi.

'Udah halal 'kan, boleh nyentuh dimana aja kan ya?'

Mas Wafi tersentak. Bola matanya yang memerah terbuka seketika dan langsung menatapku yang sama kagetnya. Andai ada mesin pendeleksi detak jantung, maka keadaanku sekarang sudah pasti didiagnosa dokter mengalami jantung kaget.

Huaw....

"Bila?" Pekiknya.

Aku segera menjauhkan tanganku.

"Mama nelpon, Mas. Katanya ada yang penting," jawabku sambil menyerahkan ponsel.

'Mudah-mudahan Mas Wafi tidak berpikir macam-macam.'

"Oh, iya. Maaf ya, Mas kaget."

Aku mengangguk dan memilih duduk di kursi rias.

[Assalamualaikum, Ma]

[ ... ]

[Astaghfirullah, di rumah sakit mana, Ma?]

[ ... ]

[Baik, Ma. Kami segera ke sana.]

"Ada apa, Mas?" tanyaku begitu khawatir.

"Kita ke rumah sakit sekarang."

"Siapa yang sakit, Mas?"

"Salsabila."

"Hah, Salsabila?"

"Iya, Salsabila. Adik tiri Mas?"

'Hah, ini maksudnya gimana? Apakah Salsabila yang dimaksud, yang sedari kemarin dipanggil-panggil?"

Huawa...

'Boleh nggak numpang nangis?

***

Radha Zanjabila (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang