Bagian 5. Yang Terabaikan

5.3K 300 5
                                    

Pov Bila

***

Mungkin aku istri paling baperan di dunia. Bukankah hal yang wajar, seorang kakak mengupas jeruk dan memberinya ke tangan seorang adik. Apalagi adiknya itu sedang sakit?"

Sisi lain hatiku mencoba berpikit positif, 'tapi masalahnya mereka saling terikat hati, memiliki masa lalu yang membekas kuat, tidak tertutup kemungkinan cinta kembali merekah saat mereka bertemu. Oh Allah, aku harus bagaimana?"

Aku merahup muka perlahan, bayangan saat Mas Wafi memberi jeruk mulai dibuat skenario oleh otakku. 'Sambil saling bertatapan, Mas Wafi meletakkan jeruk di tangan Mbak Salsabila, terus Mbaknya menahan tangan suamiku seraya berkata, tanganku sakit, Mas. Tolong suapin ke mulutku ya, Mas?'

Arghhh ...!

Kubasahi tenggorokan yang kini benar-benar seperti sedang melaksanakan puasa dua hari berturut-turut, sambil menekan-nekan kelopak mata. Sesuatu mulai membuat bagian itu terasa hangat dan memanas.

"Tak ingin kubiarkan hal itu terjadi. Tapi aku harus bagaimana? Masak iya masuk ke ruangan itu tanpa di persilahkan, dimana harga diriku sebagai seorang istri?" Perasaan ini kembali kacau.

Kubulatkan tekad untuk pergi. Tapi nggak berani jauh, aku belum pernah ke Jakarta seorang diri. Lebih baik ke mushalla saja. Rasanya benar-benar tak tahan dengan bisikan-bisikan aneh yang membuat kupingku ikut-ikutan panas. Berwudhu dan shalat sunnah, adalah cara efektif meredam amarah. Kusegerakan langkah menuju tempat peribadatan itu.

'Mas Wafi ... Bila hanya bisa berdoa Mas, agar Mas tidak melupakan Bila. Ingatlah bahwa tadi pagi Mas sudah meminta Bila pada Allah untuk menjadi istri Mas. Jangan lupakan itu, Mas?"

Aku mengusap mata yang kini benar-benar sudah berair. Cengengnya aku ini.

Huwa...

Langkahku terasa begitu berat, teringat aku telah membiarkan suamiku bersama seorang wanita di tempat lain, berduaan. Demi apapun, jangan sampai mereka ngapa-ngapain!

Kubasuh tangan, mulut, muka dan beberapa bagian lain yang menjadi rukun berwudhu. Rasanya lebih tenang dari tadi. Inginnya sih membarengi dengan tahajjud, tapi belum sempat tertidur. Jadi kulaksanakan shalat sunnah saja dua rakaat.

Setelah selesai, kubaringkan sejenak kepalaku yang masih berbalut mukena, serta kembali menutup wajah dengan cadar. Lelah tubuh bisa hilang dengan beristirahat. Tapi jika batin yang kelelahan, kemana aku mencari obatnya.

"Malam ini, malam pertama kami. Harusnya aku dan Mas Wafi menghabiskan malam indah kami di dalam kamar. Bukan terpisah begini, dia bersama gadis yang ia sukai, sementara aku seorang diri di mushalla ini, kedinginan ...."

Perlahan mataku yang dipenuhi kilau mengambang itu terpejam. 'Aku lelah sekali, Bu. Aku ingin tidur?'

***

"Bila ... Bila ...."

Seseorang mengelus pelan wajahku, kubuka mata perlahan. Rasanya sangat berat.

"Kamu disini rupanya, Mas cari ke seluruh perjuru rumah sakit?"

'Suara siapa itu, Mas Wafikah?'

Kugosok-gosok mata, agar dapat membuka sempurna. Ya Allah, benarkah dia yang ada di hadapanku kini?

"Mas Wafi?" ucapku lirih.

Dia langsung mendaratkan kecupan di keningku, kedua tangannya memegang bahuku kiri dan kanan. Sesaat bibir ini bergetar, 'Benarkah yang kurasakan ini, atau hanya mimpi?'

Kupejamkan mata perlahan, mimpi atau bukan, ini pertama kalinya keningku bersentuhan dengan lawan jenis. Syukurnya tidak haram meski yang terjadi hanya sebatas hayalan.

Radha Zanjabila (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang