POV BILA***
Degup jantungku terdengar jelas ke telinga, ucapan Mbak Salsa yang terpenggal, membuat rasa penasaranku berada pada puncak tertinggi.
Bagaimana jika dia berkata masih mencintai Mas Wafi, haruskah aku berbagi cinta dengannya?
Seharusnya tadi aku tak perlu menanyakan hal itu. Sekarang aku tinggal menunggu, apakah pertanyaan tadi akan menjadi duri dalam daging atau sebaliknya.
"Sebelum Mbak jawab, Mbak mau nanya sekali lagi sama kamu," ucapnya memecah lamunanku.
Aku kembali bergidik. "Mbak mau nanya apa?"
"Benar kamu nggak mencintai Mas Wafi?"
Aku menunduk sejenak, berusaha berpikir cepat. Jika aku berbohong, takutnya malah membuka celah untuk Mbak Salsa merebut hati Mas Wafi. Oh, kenapa bisa sebusuk ini pikiranku.
Mungkin aku harus merubah pendirian kali ini. Apapun yang akan kudengar nanti dari mulutnya, yang kebenaran dariku harus dia tahu.
"Sebenarnya ... Bila sudah mulai mencintai Mas Wafi, Mbak. Sepertinya, rasa itu sudah ada sejak kami duduk di pelaminan. "
Kualihkan pandangan setelah mengakhiri pengakuan itu, sepertinya jawabanku berhasil merubah raut wajah Mbak Salsa, tapi hanya sebentar. Wanita itu berhasil mencetak pelangi kembali di wajahnya.
"Syukurlah kalau begitu. Dan kalau kamu mau tahu perasaan Mbak, Mbak akan jujur," Mbak Salsa memberi jeda akan ucapannya sambil menarik napas, aku semakin deg-degan, "buat Mbak, Mas Wafi adalah masa lalu. Kami sudah sama-sama nerima status kami yang hanya sekadar kakak beradik. Kamulah wanita beruntung itu, Bila?"
Hatiku bergetar mendengar jawabannya. Benarkah aku gadis beruntung itu?
"Pernah dulu waktu Mbak masih SMP, Mas Wafi nyantri di pesantren. Sesekali dia pulang, kami jalan-jalan ke Gramedia. Kamu tahu, banyak gadis-gadis seumuran Mbak godain Mas Wafi. Sampai ada yang ngedeketin Mbak cuma buat minta nomor handphonenya. Kebayang nggak gimana perasaan Mbak waktu itu?"
Aku menggeleng. Aku belum pernah cemburu pada selain yang halal.
"Waktu itu Mbak marah-marah aja ke Wafi, padahal dia 'kan nggak salah. Belakangan Mbak baru sadar, kalau saat itu Mbak sedang cemburu," jawab Mbak Salsa berbinar-binar.
'Ya Allah, jadi mereka sedekat itu sejak kecil, ah apalah aku yang hadir saat dia sudah berumur tiga puluh tahun?'
"Mas Wafi cuma diam sambil senyum-senyum, lihat Mbak marah-marah. Mas Wafi selalu tenang menanggapi sikap Mbak yang awut-awutan."
Kucoba menepis rasa cemburu yang mulai menghinggapi. Aku ingin mengetahui semuanya.
"Berarti Mbak dan Mas Wafi sudah saling cinta sejak SMA, ya?" tanyaku lirih. Aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka menghabiskan masa kecil bersama, tentu banyak suka dan canda yang tercipta setiap saat. Bisakah aku menciptakan kebahagian yang serupa di hidup Mas Wafi kini.
"Waktu itu belum Dik, mungkin kami nggak menyadari kalau rasa itu bernama cinta. Dia menjaga Mbak seperti seorang kakak terhadap adiknya. Cuma Mbak saja yang menanggapinya dengan rasa yang berbeda, Mbak seperti hendak memilikinya. Tapi Mas Wafi tak mengelak. Dia menuruti apapun kemauan Mbak. Saat itulah Mbak pikir dia juga punya rasa yang sama seperti yang Mbak miliki."
Mbak Salsa kembali menarik napas. Sepertinya bukan aku saja yang tersiksa dengan masa alu mereka, lebih dari itu, Mbak Salsa pun sama tersiksanya. Bahkan mungkin lebih.
"Mbak?" Aku memanggilnya lirih. Rasanya ingin aku menghentikan curhatannya, tapi entah mengapa kupikir ini adalah caranya untuk belajar melupakan suamiku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Radha Zanjabila (Proses Terbit)
RomanceRadha Zanjabila, harus menerima kenyataan bahwa lelaki yang menikahinya, ternyata mempunyai masa lalu yang belum terselesaikan, dengan adik tirinya Salsabila. "Kudengar kau memanggilnya dalam tidurmu, 'Salsabila... Salsabila...' aku bangun dan memb...