Aku Bukan Salsabila

12.8K 367 12
                                    


Namaku Radha Zanjabila. Umurku sembilan belas tahun saat aku memutuskan untuk menerima lamaran seorang dosen Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aku hanya mengenalnya melalui selembar foto. Mungkin yang pertama kali membuatku mengatakan iya pada Abah, karena ketampanan lelaki itu. Enam tahun di pesantren, aku bahkan jarang sekali menatap wajah lelaki, kecuali Ustad atau Gus yang kebetulan mengajar.

Lelaki itu, maksudku calon imamku itu, masih memiliki nasab langsung dari keturunan Rasulullah. Namanya Said Rumaisil Mohammad Awafi. Tak kupedulikan usianya yang terpaut jauh dariku, bukankah lebih tua itu lebih dewasa. Beruntungnya aku, kelak dari rahimku akan lahir zuriyah-zuriyahnya. Insya Allah aku akan menjadi shalihah untukmu, Mas.

Pernikahan istimewa kamipun berlangsung khidmat. Seluruh teman pesantrenku hadir, termasuk Ustazdah dan Ustadz Pesantren. Sepanjang acara, aku terus saja menunduk, entah rasanya sangat malu jika harus menatap matanya yang jernih bak telaga.

Hari itu, aku sadar. Beginilah bahagianya seorang wanita di hari pengantin mereka. Sebelum semua angan-anganku akan hari-hari yang bahagia dalam rumah tangga kami, berserakan karena sebuah kesilapan. Kesilapan yang ia lakukan di kamar pengantin kami.

***

"Salsabila, maaf, apakah saya bisa menggunakan kamar mandimu?"

Aku terhenyak, bukan karena pertanyaannya, tapi terkait penyebutan nama. Lupa atau bagaimana, bukankah tadi pagi lelaki yang nampak menawan dalam balutan kemeja putih dan celana katun itu baru saja melangitkan ikrar sehidup sesurga di hadapan seluruh tamu undangan?

'Belum lewat sehari, kenapa bisa salah terucap? Atau jangan-jangan memang benar kata Ateu tempo hari, jika lelaki yang sudah menjadi imamku ini incaran para mahasiswa dan dosen single. '

"Nama saya Zanjabila, Mas? Bukan Salsabila ...."

"Owh, maaf ya? Mas sulit mengingatnya." Lelaki itu tersenyum malu, terlihat salah tingkah.

Kualihkan pandangan, entah apa yang terasa di dada ini. Namun, perih mengambil alih lebih besar.

"Nggih, nggak papa, Mas," jawabku sambil menunduk, berusaha menutupi kilau mengambang di pelupuk mata.

Entah kenapa saat itu aku berpikir, bahwa imamku ini telah salah memilih istri. Mungkin ia berharap yang menjadi istrinya bukan wanita sederhana sepertiku. Mungkin saja, yang ia idamkan jadi pendamping adalah gadis cantik yang sering tampil dalam acara-acara jamuan sosial, atau sekurang-kurangnya dosen terbaik di sebuah Universitas ternama. Sayangnya, aku hanya seorang wanita lulusan pesantren. Cantikpun standard, body pas-pasan, cara berpakaian paling ekstrim, bercadar pula!'

"Kamu nggak marah 'kan?" tanya lelaki itu lagi. Aku hanya mampu menghela napas. Sulit sekali mengakui jika perasaanku benar-benar tersinggung karena kesalahan kecil itu.

"Nggih, nggak papa, Mas. Jika Sampeyan mau ke kamar mandi, silahkan gunakan saja kamar mandi yang di dalam. Handuknya juga sudah saya gantung di gantungannya. Saya permisi keluar sebentar. Mau bantu-bantu di dapur."

Apa? Bantu-bantu? Bukankah ini malam pengantin, mana ada pengantin baru harus membantu di dapur?

'Kujawab asal pertanyaan Mas Wafi, daripada terus di kamar, bisa-bisa aku bergelimangan air mata. Tapi besar harapan, imamku itu berinisiatif untuk mengurungkan niat ini. Ah, tapi sayang. Mas Wafi justru tidak berkata apapun.'

Hatiku kembali dihujam rasa perih. Kututup pintu kamar perlahan. Sambil menyandarkan punggung ke daun pintu, kubuka cadar yang masih menempel di wajah.

'Harusnya Mas Wafi yang membuka, tapi kenapa dia tak peduli? Apakah dia tak ingin melihat rupaku?'

Dari pada terus bersedih-sedih, kuputuskan untuk ke dapur. Mencari makanan panghilang stress, barangkali masih tersisa cupcakes coklat. Berjalan ke dapur perlahan, takut Umi masih terjaga dan menangkap basah seorang pengantin wanita kabur dari kamar pengantinnya. Bisa-bisa diadili nanti.

Celingak-celinguk aku menyisir ruangan.

"Alhamdulillah, Umi sudah tidur.'

Kuhidupkan saklar dan ...

"Umi? Kenapa gelap-gelapan, Um?" tanyaku saat mendapati Umi berdiri di depan kulkas.

"Bi-la? Kamu kenapa di luar kamar, Sayang? Mau ngapain?" Wanita itu menutup pintu kulkas dan menghampiriku yang kini merasa diri sebagai maling yang ketangkap basah.

"Ini, anu, Um. Bila mau ambil teh hangat untuk Mas Wafi ...."

'Ah, jadi juga aku bohong malam ini. Astaghfirullah, maafkan anakmu ini, Um."

"Oh, yasudah. Bergegas buatkan, lalu masuk lagi. Nggak baik meninggalkan suamimu sendirian di kamar.

Aku menggigit bibir, rasanya ada yang mengganjal di hati, ingin sekali kuadukan pada Umi. Ah, tapi jangan, seseorang yang sudah memutuskan untuk menikah, harus bisa menjaga rapat urusan rumah tangganya.

"Umi kenapa belum tidur?"

"Tadi Umi lupa matikan kompor saat memanaskan air. Kamu kenapa, Neng. Kok kusut begitu atuh mukanya?"

Kusentuh pipi perlahan, memang seorang Ibu paling bisa membaca pikiran anaknya. 

"Umi, kayaknya Mas Wafi nggak suka deh sama Bila?"

"Hus, ngomong apa kamu tho. Perasaan tak baik itu harus dihilangkan. Jika dia tidak suka, mana mungkin dia melamar kamu?"

Kuembuskan napas kasar, "barangkali Mas Wafi hanya menurut permintaan Abinya, untuk menikahi aku, Um?"

"Bila, Bila ... menikah itu bukan seperti membeli barang, ijab qabul yang dipersaksikan di hadapan Allah, adalah janji suci. Allah mengistilahkannya mitsaqan ghalizan, sebuah perjanjian yang suci. Bukan ucapan main-main. Apalagi, yang menikahi kamukan seorang dosen keagamaan, lulusan Al Azhar, Cairo. Tidak mungkin beliau berani bermain-main dengan ikrar itu. Sing sabar, Sayang. Membuktikan cinta dan sayang itu butuh waktu, nggak bisa langsung ditunjukkan dalam sehari."

Lagi-lagi aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. Jawaban Umi tak cukup membuat batinku tenang.

"Udah, buruan anter ke kamar teh hangatnya. Keburu tidur nanti suamimu?"

"Ya, Um."

Selepas kepergian Umi. Aku mulai mengaduk-aduk gula yang sudah kumasukkan ke dalam gelas.

'Entah-entah Mas Wafi haus dan mau meminum teh hangat ini.' Aku meracau seorang diri. Memilih duduk sejenak di kursi makan sambil menikmati beberapa kue kering. Rasanya aku tak ingin kembali ke kamar.

'Gusti, ampuni hamba-Mu ini ...."

***

Perlahan kubuka pintu kamar yang terbuat dari kayu jati pilihan. Abah punya usaha yMandiri kilang ketam, usaha yang kata Abah kecil-kecilan tapi sudah mempunyai pegawai lebih dari tiga puluhan orang. Di itulah Abang sering menghabiskan waktu, disela-sela kegiatan rutinnya sebagai imam mesjid.

Mungkin aku terlalu lama menghabiskan waktu di luar, hingga Mas Wafi tertidur menunggguiku. Kedekati lelaki itu perlahan, memperhatikan tiap inci pahatan di wajahnya yang nyaris sempurna. Wajah putih bersih dengan alis tebal yang menawan. Belum lagi jambang halus di pinggir wajah. Bibir merekah bak dipoles gincu. Ah semakin sempurna dengan hidung segitiga yang menjulang ke atas.

'Mas ... Mas, kamu benar rupawan. Pasti banyak yang suka, tapi sungguh beruntung aku yang kamu pilih jadi penyempurna imanmu.'

Aku semakin mendekatkan wajahku, penasaran juga ingin mendengar degup jantung imamku itu.

Tiba-tiba, Mas Wafi menggeliat. Tangannya bergerak. Aku segera menjauhkan tubuhku, takut ketangkap basah tengah memperhatikannya. Sambil menarik napas, kuatur degup jantung yang yang tiba-tiba berdetak begitu cepat. Tapi, mataku kembali ditarik menatap lelakiku. Mas Wafi seperti ingin berbicara. Bibirnya bergerak perlahan.

Aku mendekatkan kembali wajahku hingga bisa menangkap sesuatu yang sedang ia sebut dengan lirih.

"Salsabila ... Salsabila ...."

Jantungku berdenyut. Ia bukan menyebut namaku. Mungkinkah itu nama perempuan dimasa lalunya?

Mas Wafi memang hanya menyebutkan sebuah nama, tapi sakit yang kurasa membuat dadaku terasa begitu sesak, salahkah aku memutuskan menikah tanpa mengenalnya dahulu?

'Namaku bukan Salsabila, tapi aku Zanjabila, Mas.

Radha Zanjabila (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang