Bagian 11a. Kita Saling Mencintai

4.7K 328 28
                                    


***

Kutangkupkan kedua telapak tangan ke wajah setelah membaca doa Istighfar Rajab. Doa terbaik di bulan Rajab. Lalu kuangkat kembali kedua tangan. Kali ini doa khususku pada Rabb.

"Ya Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, hamba manusia hina penuh dosa, ampuni hamba ya Allah ... Seumur hidup, baru kali ini hamba berdekatan dengan lelaki. Lelaki yang seijinmu langsung menjadi imam bagi hidup hamba. Pemimpin rumah tangga hamba. Hamba tidak tahu bagaimana harus bersikap padanya, berbicara saja hamba malu, apalagi untuk mengeluh, menceritakan segala kecemburuan yang hamba rasakan. Apakah ini yang dimaksud menikah diibaratkan seperti berlayar di tengah samudera luas. Bukan tentang aku ratu, dan dia raja. Tapi lebih fokus pada tantangan yang menerpa. Bukankah lautan itu penuh badai dan gelombang?

Apakah ini ya Allah maksudnya? Tapi hamba yakin ya Allah, bahwa rumah tangga yang dibangun di atas pondasi keimanan dan kasih sayang, diliputi semangat saling memahami dan melayani, dan dihiasi keluasan ilmu dan budi pekerti, rumah tangga kami akan sampai ke pelabuhan terindah. Bantulah hamba untuk memahaminya ya Allah, semoga dia juga bisa memahami hamba. Kabulkan ya, Allah?"

Aku menghela napas panjang, seberapapun cemburunya aku pada Mas Wafi, tapi kelakuannya selalu membekas kuat diingatan. Sekilas bayangan kejadian tadi di taman kembali membuatku merinding, lama aku merasa-rasa kembali bagaimana detik-detik tangan Mas Wafi melingkari pinggangku.

"Astaghfirullah! Lho kok Astaghfirullah, sih? Mas Wafi 'kan suamiku?" Sisi lain hatiku berbicara.

Akhirnya, daripada terlalu lama di tempat itu, kuputuskan untuk kembali ke ruangan Mbak Salsa. Mungkin mereka sudah kembali.

Kulipat mukena lalu dengan langkah gontai berjalan keluar dari Mushalla. Tiba-tiba, kaki terasa kaku, nafasku terasa berat, apalagi jantung, selalu ikut-ikutan bertabuh. Kecoba menghela napas, di sana, beberapa langkah di depan, Mas Wafi berdiri sambil bersandar pada tembok bercat putih. Sesekali ia memperbaiki rambut tebalnya yang di tiup angin. Lengannya yang kekar menyembul di balik lengan kemeja berwarna maroon. Gagah sekali dia, pantesan banyak yang jatuh cinta.

Tapi Alhamdulillah, Mas Wafi bisa menjaga pandangannya. Mungkin hanya pada satu wanita yang sulit ia jaga, yang selalu berada di sisinya. Mbak Salsa.

"Ya Allah, Mas Wafi melihat kemari!"

Sesaat kami saling memandang, surprise sekali dia mencariku sampai kemari. Ini bukti bukan ya, bahwa dihatinya, aku lebih penting dari Mbak Salsa?

Mas Wafi melangkah mendekat.

"Kamu paling senang kabur tanpa kabar, apa udah lupa sama janji tadi, belum lewat dua jam lho?" serang Mas Wafi ketika sudah berada di dekatku. Matanya tajam menatapku. Aku yang sesaat menatapnya segera membuang wajah.

'Tukan ngambe lagi aku? Huh... Kesal sama diri sendiri, tapi ah udah Ikuti aja kemauan hati.'

"Bila udah lupa, Mas. Mas aja kemarin lupa 'kan sama nama saya, padahal belum lewat sehari?" Kuluapkan semua emosiku saat ini, bahkan kesalahannya kemarin yang sudah kulupakan, tiba-tiba teringat kembali. Huh, dasar setan!

Aku berjalan cepat menjauh, nunjukin kekesalanlah. Sementara di belakang, Mas Wafi mengekoriku sambil lanjut membela diri.

"Yah, yang itu diungkit lagi, Mas 'kan udah minta maaf Bila?"

"Yaudah, Bila juga minta maaf!" sanggahku dengan cepat sambil mulai terengah-engah.

"Lalu, jalannya kenapa cepat-cepat begitu?" Suara Mas Wafi kembali terdengar diantara derap langkahku.

"Biar cepat sampai Mas, 'kasihan 'kan Mbak Salsa Mas tinggal sendirian?"

'Asal kamu tau, Mas. Ini sindiran, bukan pembelaan!'

Radha Zanjabila (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang