POV Bila
***
Sesaat, kami terdiam kehabisan kata. Tepatnya mungkin kami tengah memaknai, apa, mengapa, dan bagaimana kecupan itu bisa terjadi diluar target. Aku memilin-milin ujung khimar yang kugunakan, anganku melayang entah kemana. Sementara Mas Wafi tampak dari ujung mataku tengah memain-mainkan jemari tangannya di atas paha.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
"Mas,"
"Bila,"
Kami serempak menyebut nama masing-masing dalam waktu yang sama. Seketika pandangan kami bersiborok tajam, dan pecahlah tawa hangat yang membarengi.
"Udah nggak marah lagi 'kan?" tanyanya mengurai tawa.
Aku menoleh, mencoba menghentikan tawaku. "Tapi Mas janji jangan salah lagi manggil nama Bila?" rengekku manja. Ah, bisa-bisanya aku bersikap demikian. Aku tahu, sesuatu yang dilakukan Mas Wafi tadi berhasil menepis kekakuan diantara kami.
'Inikah nikmatnya pacaran setelah menikah? Alhamdulillah ... bersyukur sekali selama ini aku tak pernah tersentuh oleh lelaki lain. Sehingga setiap sentuhan yang kini kudapat setelah pernikahanku terasaa begitu mendebarkan dan istimewa.
'Aku sangat mencintaimu, Mas,' batinku menjerit kuat. Andai ia bisa mendengar, pasti bakalan heboh.
'Tapi aku nggak akan bilang cinta, sebelum kamu duluan yang bilang, Mas.'
Mas Wafi mengarahkan kelingking kanannya padaku. "Mas janji, Mas nggak akan salah nyebut nama kamu lagi ...."
Ia mencubit hidungku, saat aku melilitkan kelingkingku padanya. Aku hanya menatapnya dalam, penuh rindu. Sebenarnya aku ingin mempertanyakan, kenapa Mas Wafi selalu salah sebut, tapi ah sudahlah. Biarlah terjawab perlahan.
***
Mas Wafi menyantap nasi Tutug Oncom dengan nikmatnya, Papa mertua juga, Mas Alif apalagi, pakai nambah segala. Beruntungnya aku dimbah Gugelin sama Buk Nem. Besok-besok mau nanya resep Seblak deh, pokoknya setiap hari aku akan masak masakan istimiwa untuk Mas Wafiku.
"Pagi ini ke rumah sakit 'kan Fi?" tanya Mama setelah mengelap mulutnya.
"Iya, Ma. Sebentar lagi Wafi sama Bila mau ke rumah sakit."
'Rumah sakit? Ya Allah, aku ingin melupakan tempat itu. Aku ingin pergi ke tempat lain, ini 'kan bulan madu kami?'
"Kalau bisa sampai sore ya, Fi? Bik Nah semalam ijin sama Mama mau pulang kampung hati ini, mau bawa ibunya berobat. Kasihan kalau Salsa ditinggal sendirian 'kan?"
'Ya Salam, seharian? Cobaan apalagi ini?'
Mas Wafi melirik ke arahku, ia berdehem sebelum menanggapi ucapan Mamanya.
"Kenapa nggak Mama aja yang jagain Salsa, kasihan 'kan mereka, barangkali mau ke suatu tempat?" Papa mertua menimpali.
"Mama ada pertemuan dengan donatur Pa, di Panti Asuhan. Tapi Mama janji, jika acaranya cepat selesai, Mama akan segera menyusul ke rumah sakit kok. Kalian nggak masalah 'kan jagain Salsa?"
Mama menatap kami bergantian, barangkali ini saatnya aku mengambil hati mama mertua. Buat apa takut, toh ada aku juga. Kalau perlu akan ku rantai kaki Mas Wafi agar selalu berdekatan denganku.
"Kami nggak masalah, Ma?" jawabku entah mewakili isi hati Mas Wafi atau nggak. Tapi kulihat Mas Wafi menghela napas.
'Salahkah aku?'
"Alhamdulillah ... jadi Mama bisa tenang deh. Oya, Mama juga mau ngucapin makasih, untuk sarapan pagi ini. Mama acungkan jempol, deh. Ternyata Awafi tidak salah milih istri, cantik, shalehah dan pintar masak pula."

KAMU SEDANG MEMBACA
Radha Zanjabila (Proses Terbit)
RomanceRadha Zanjabila, harus menerima kenyataan bahwa lelaki yang menikahinya, ternyata mempunyai masa lalu yang belum terselesaikan, dengan adik tirinya Salsabila. "Kudengar kau memanggilnya dalam tidurmu, 'Salsabila... Salsabila...' aku bangun dan memb...