Bagian 12a. Telpon Penting

4.7K 321 46
                                    


Pov Bila

***

Temaram rona jingga masih nampak di sudut langit sebelah barat. Senja yang indah, apalagi ditemani lelaki halal. Ah, nikmat sekali rasanya. Setelah tadi sempat mengalami kejadian mendebarkan plus memalukan, suasana diantara kami benar-benar terasa lebih asyik. Mas Wafi mulai suka menggodaku.

Seperti barusan, saat kami berpas-pasan mau ke kamar mandi. Mas Wafi malah iseng ngajak ke kamar mandi bareng. So sweetnya, tapi 'kan malu. Meski sudah sah jadi istri, tetap aja masih belum leluasa. Aku yakin, semua akan indah pada saatnya, nggak perlu buru-buru.

Beruntung Mas Wafi bukan tipe lelaki pemaksa. Sepertinya Mas Wafi juga bukan tipe lelaki yang mengutamakan nafsu. Dia adalah lelaki terbaik, sekarang dan sampai kapanpun.

Magrib ini, Mas Wafi sengaja tidak ke Mesjid. Ia ingin shalat berjamaah bersamaku. Dan anehnya, aku mulai mencium bau malam pertama. Huhuhu...

Kalau ditanya siap, oh no! Aku belum siap. Tapi kalau dituntut harus siap, maka aku akan mengangguk. Tak ingin dilaknat para bidadari di surga, karena menolak keinginan suami berarti telah membuat bidadari-bidadati itu cemburu.

Lagian, di surga dan di dunia, yang boleh jadi bidadari Mas Wafi hanya aku. Boleh nggak Allah?

Usai shalat, Mas Wafi membalikkan badannya. Kuciumi tangan imamku dengan takzim. Mas Wafi membalas sikapku dengan mengelus puncak kepalaku. Sejenak kami saling memandang. Lalu dengan sedikit gemetar Mas Wafi meletakkan tangan kanannya di dahiku. Komat kamit mulutnya khusuk berdoa.

"Allahumma inni as-aluka khayraha wa hayra ma jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi. Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikanMu dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya."

Aku tertunduk dalam-dalam menahan gejolak hati. Jantungku berdetak kencang. Harusnya doa ini dibaca setelah pernikahan ya, tapi aku memaklumi kenapa baru malam ini Mas Wafi membacanya.

Aku bisa merasakan kegugupan yang juga mendera imamku itu. Setelah selesai membaca doa, ia terlihat begitu kikuk. Sepertinya bingung harus berbuat apalagi.

"Kamu udah lapar belum?" tanyanya berusaha mencairkan suasana.

Dengan ragu kuanggukkan kepala. Belum pernah juga aku merasakan gugup seperti saat ini. Mungkin karena hari ini kami mengalami banyak kejadian menyenangkan, sehingga berdekatan berdua begini mengingatkan pada hal-hal lain yang menuntut keberanian lebih.

Mudah-mudahan Allah segera mencairkan rasa sungkan yang masih memenuhi relung hatiku dan hatinya.

"Kita makan malam, yuk?"

"Mama sama Papa?" tanyaku meyakinkan bahwa tak masalah jika kami tak menunggu mereka pulang.

"Paling, Mama sama Papa udah makan di luar," jawab Mas Wafi enteng sambil membuka mukena yang kukenakan.

Aku kembali menunduk, sudah dua kali Mas Wafi membuka mukenaku. Romantisnya dia.

Lalu dia bangkit, meletakkan kopiahnya pada nakas. Membuka sarung dan menggantinya dengan celana jogger panjang. Lalu mengganti koko dengan kaos putih polo's ngepas di badan.

Mas Wafi sekarang kelihatan seperti foto model. Ck. Ck. Ck. Tapi syukurnya, udah nggak harus tutup mata lagi ngelihat yang sekaiy begini, 'kan udah halal. Nikmat nggak pakai dosa lagi.

Setelah menyimpan perlengkapan shalat, dengan berpakaian serba lengkap, kuikuti Mas Wafi turun ke lantai bawah. Berjalan melewati ruang tengah yang begitu luas, sampai ke ruang makan.

Radha Zanjabila (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang