Pov Bila***
Setelah mendapatkan ijin dari Abah dan Umi, kami segera melangkah keluar rumah.
"Bismillah, pertama kali semobil dengan lelaki, walau sudah menjadi imam tetap saja deg-degan. Lho, kok malah deg-degan, harusnyakan cemburu sama yang namanya Salsabila. Eh, Kok cemburu juga, bukan seharusnya justru khawatir? Aduh, kapan sih hati bisa berbohong?" batinku terus meracau tak jelas.
Kulihat Mas Wafi berjalan ke arahku. "Lho, Mas mau duduk di samping kiri? Lalu siapa yang nyetir mobilnya?" tanyaku polos.
Dia tersenyum sedikit berdehem. Ah, manis sekali senyuman itu, lengkap dengan jakun menonjolnya yang bikin hati meleleh.
Tanpa berucap Mas Wafi menggerakkan tangannya membuka pintu mobil. "Mas cuma mau membukakan pintu mobil, pertama kalinya untuk istri Mas?" jawabnya santai.
Selimut ada Mak, pinjam buat nutup muka. Malu......
Untung aja, cadar masih setia membalut wajah, kalau tidak sudah pasti Mas Wafi melihat wajahku yang memerah bak keriting rebus.
Aku memasuki mobil dengan seperti tadi, deg-degan. Kuseimbangkan napas, agar denyut nadipun ternetralisir. Mas Wafi membuka pintu pagar lalu masuk ke mobil. Tak sedetikpun kulewatkan pandangan dari memperhatikan tiap gerakkan lelaki yang sekarang sudah menjadi imamku itu. Syukurlah aku jatuh cinta saat setelah menikah, hingga tak haram bagiku untuk terus menatap wajahnya. Walau dalam diam dan curi-curi kesempatan.
Mas Wafi duduk di bangku kemudi. Kukira dia akan langsung menghidupkan mobil. But, what?
Dia berbalik, membuat mataku yang sedari tadi menatapnya segera berpaling. Sungguh diluar dugaan, Mas Wafi mengambil sabuk dan mengaitkannya di tubuhku. Jarak kami begitu dekat, hingga aku bisa mendengar degup jantungnya yang bersatu dengan degup jantungku.
"Subhanallah, nikmatnya punya suami?"
'Mas, bisakah aku melupakan kenyataan bahwa tidak ada nama wanita di hatimu selain aku?' batinku bergumam dalam diam.
Andai bisa kuucapkan...
"Bismillah, kita berangkat ya?" ucapnya sambil menatapku.
Saat itu aku ingin menangis, entah menangis bahagia atau karena cemburu. Tapi kenapa aku merasa sangat takut kehilangan Mas Wafi. Pasti karena Salsabila. Ah, siapa sih Salsabila itu?
Mas Wafi memilih jalan Tol Cipularang sebagai alternatif, agar jarak tempuh Bandung dan Jakarta menjadi lebih dekat. Jalanan ini menanjak, menurun, mengkelok, kenapa begitu menggambarkan perasaanku?
Aku jelas menangkap raut cemas dari wajah Mas Wafi, sesekali dia meletakkan tangan kanannya pada pembatas jendela sambil mengusap bibirnya yang merekah bak permen lollipop.
"Ya Allah, redakanlah gemuruh cemburu di hati ini?"
Semua salahku, aku terlalu malu untuk bertanya pada Umi tentang siapa calon suamiku. Hanya nama, umur dan pekerjaan yang aku tahu. Selebihnya aku percayakan pada Abah dan Umi, toh mereka takkan mungkin menikahkanku kecuali dengan lelaki terbaik yang mereka kenal.
Saking polosnya, aku baru tahu nama Papa dan Mama mertua tadi pagi, serta nama adik lelakinya. Tapi tak pernah tersiar kabar jikalau suamiku ini memiliki seorang adik tiri berjenis kelamin perempuan.
"Duh ... Gusti, apakah suamiku sempat falling in love dengan adik tirinya?"
Kubungkam mulut tak berani bertanya, semoga suatu saat, akan ada penjelasan untuk semua ini.
***
Tepat pukul setengah dua belas malam kami sampai di rumah sakit. Mas Wafi dengan cekatan membuka pengunci sabuk pengamannya. Lalu turun membuka pintu mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radha Zanjabila (Proses Terbit)
RomanceRadha Zanjabila, harus menerima kenyataan bahwa lelaki yang menikahinya, ternyata mempunyai masa lalu yang belum terselesaikan, dengan adik tirinya Salsabila. "Kudengar kau memanggilnya dalam tidurmu, 'Salsabila... Salsabila...' aku bangun dan memb...