POV wafi
***
Pagi ini aku bangun dengan begitu semangat. Entah pukul berapa semalam mata ini terpejam, tapi saat tersadar, istriku ada dalam dekapan. Inikah nikmatnya berubah tangga, jika dahulu tidur memeluk bantal, sekarang berganti memeluk sesosok bidadari.
Hampir sejam mataku terbuka, memperhatikan tiap inci pahatan wajahnya yang begitu indah. Maha Karya Allah yang luar biasa, baru kali ini aku melihat bidadari dari jarak yang begitu dekat. Untungnya dia tertidur sangat pulas, jadi aku bisa leluasa menatap raut wajahnya. Aku pula yang sudah diam-diam meletakkan bibirku pada bibirnya. Mungkin kalau dia sadar, pasti sudah melawan.
Hanya satu yang membuatku penasaran, matanya sedikit membengkak, apa dia baru saja menangis. Ah, mungkin memang model ingkar matanya begitu. Kecoba menepis pikiran buruk yang tiba-tiba mendera.
Sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselku. Tanpa banyak bergerak, kugerakkan tangan kiri meraih benda pipih yang terletak di atas nakas.
Salsa.
Jika mengingat gadis itu, hatiku sakit. Andai saja dulu Papa mengijinkan, pasti kami sudah bersama. Dan dia takkan menderita seperti sekarang. Tapi, tak ada ketetapan Allah yang buruk bagi hambanya. Suratan takdir yang tertulis bagi kami di Lauhul Mahfuzd, hanya sebatas kakak beradik. Seberapapun kami menolak, takdir Allah tetap akan berjalan.
Dan hikmahnya kini, aku bersama gadis belia ini. Gadis bercadar yang begitu terpelihara. Insya Allah aku yakin bahwa Salsa akan bahagia jika kelak dia sudah menikah, sepertiku.
Kubaca pesan yang dikirimkan Salsa.
[Mas, nggak balik lagi ke rumah sakit, ya?]
Aku mendesah, kekhawatiranku pada Bila membuatku lupa untuk kembali ke ruangan dimana Salsa dirawat. Segera saja kuketik balasan.
[Besok Mas kesitu, ya. Ini Mas sudah pulang.]
Kunanti pesan balasan dari Salsa, lama. Mungkin dia marah atau bagaimana. Karena selama ini, hanya dirinya seorang gadis yang begitu kuperhatikan dan aku jaga perasaannya. Semoga dia paham, bahwa aku sudah menikah.
Lebih sepuluh menit, sebuah pesan masuk kembali.
[Curang kamu, Mas. Tega nggak memberi kabar kalau sudah pulang, aku khawatir daritadi?]
Aku menelan saliva, benar saja dia khawatir. Dulu kalau dia begini, aku nggak tenang sebelum menelpon dan meminta maaf. Tapi malam ini, haruskah itu kulakukan? Sementara dalam dekapanku, seorang istri halal tengah terbaring dengan pulasnya.
Ah, aku harus bisa menjaga sikap. Sekarang aku seorang suami, yang harus menjaga perasaan istrinya, meski dia sedang tertidur.
Kupandang lagi wajah Zanjabila. Terluput kembali rasa khawatir akan Salsa. Subhanallah, jika tau begini nyamannya punya istri. Sudah sedari dulu aku halalkan. Eh, tapi dia masih sekolah waktu itu, ya. Pasti aku ditolak.
Memanglah sesuatu yang didapat setelah berperang dengan nafsu, dan berdamai dengan sabar, ternyata rasanya begitu indah. Kudoakan, yang jomlo selalu Istiqamah, jauhi yang haram, halalkan jika sudah mampu. Insya Allah akan Allah mudahkan.
Dengan pasti kuketik balasan, [Maafkan Mas, Sa. Tadi Kakak iparmu ketiduran di Mushalla, jadi Mas putuskan untuk mengantarnya pulang. Tapi sampai di rumah, justru Mas yang ketiduran, hingga lupa memberi kabar. ]
[Yasudah, kalau gitu istirahat saja, Mas. Selamat menempuh malam pertama, Mas.]
Sesuatu seperti menusuk jantungku. Sekarang passti dia marah.
Pernah dulu, dulu sekali, harapan akan bersama dengannya suatu malam. Ah, semua hanya masa lalu. Kukira kami akan dapat saling melupakan jika sudah bersama dengan yang lain. Jika aku sudah bersama Bila, maka Salsa juga harus punya pegangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Radha Zanjabila (Proses Terbit)
RomanceRadha Zanjabila, harus menerima kenyataan bahwa lelaki yang menikahinya, ternyata mempunyai masa lalu yang belum terselesaikan, dengan adik tirinya Salsabila. "Kudengar kau memanggilnya dalam tidurmu, 'Salsabila... Salsabila...' aku bangun dan memb...