"Ya, kamu di mana? Kok, di toko cuma ada Deva?" tanya Kak Danan melalui sambungan telepon.
"Iya, Kak. Aku lagi kurang enak badan. Tadi pagi aku telepon Deva buat buka toko gantiin aku," sahutku lemah.
"Udah ke dokter?" tanya Kak Danan lagi.
"Enggak ke dokter. Aku cuma demam aja, kok. Tadi pagi udah minum obat," sahutku lagi.
Aku memang tidak terlalu suka pergi ke rumah sakit atau periksa ke dokter. Selama aku belum terlalu sakit, aku hanya akan minum obat atau istirahat.
"Udah makan siang?" tanya Kak Danan.
"Belum. Ini baru mau order makanan," jawabku.
"Enggak usah. Aku beliin bubur di kios dekat sini aja. Tunggu aku, paling 10 menit lagi aku datang," ujar Kak Danan.
"Tapi, Kak ...," ujarku berusaha menolak.
Suaraku hanya disahuti oleh nada telepon yang telah putus. Damn! Kuperiksa wajahku melalui kaca di kamarku. Kusisir rambutku agar terlihat lebih rapi. Aku ragu-ragu apakah aku harus memakai lipbalm dan sedikit bedak. Ahhh ... masa bodo dengan mata panda dan wajah pucatku. Aku kan memang lagi sakit. Justru akan terlihat aneh kalau aku tidak pucat. Untunglah aku sudah sempat mandi pakai air hangat sejam yang lalu.
Sial sekali! Kenapa Kak Danan harus bertamu ke rumahku saat aku dalam kondisi terburuk seperti ini. Kutepis lagi keinginan untuk menyapukan bedak dan mengulas lip balm. Kak Danan tidak menyukaiku dan aku juga harus berhenti menyukainya. Jadi, dengan atau tanpa make up tidak akan memberikan perbedaan terhadap hubungan di antara kami.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Gerbang di lantai bawah memang tidak aku kunci agar Deva tidak susah saat ingin menanyakan sesuatu kepadaku. Kusambar kardigan dari sandaran tempat tidur dan memakainya sebelum membuka pintu.
"Hai, Ya. Gimana keadaan kamu," sapa Kak Danan saat aku membukakan pintu untuknya.
"Masih demam, Kak. Tapi udah ga sepusing tadi pagi," sahutku mempersilakan Kak Danan masuk ke ruang tamu.
"Di mana dapurmu?" tanya Kak Danan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
"Di sini, Kak. Kak Danan haus? Mau minum?" jawabku sambil mengajaknya berpindah ke dapur mungilku.
"Enggak. Kamu duduk saja. Buburnya dimakan sekarang, biar masih hangat," ujar Kak Danan sambil mengeluarkan bubur yang dibawanya.
"Maaf, ya, Kak. Kak Danan harusnya ga usah repot-repot. Aku ga yang sakit banget sampai ga bisa nyari makan sendiri kok, Kak," ujarku merasa tidak enak.
"It's okay. Aku juga sekalian beli makan siang buat aku sendiri, kok," tukas Kak Danan cepat.
Kami berdua makan dalam diam. Kuperhatikan Kak Danan santai saja menikmati bubur bersamaku, di dapur rumahku. Dia tidak tampak canggung atau tidak enak telah menginvasi ruang pribadiku. Aku pun memutuskan untuk menikmati bubur yang telah dibelikannya. Sekali-kali Kak Danan memperhatikanku di sela-sela dia menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. Aku berusaha untuk mengabaikan tatapannya.
"Udah selesai? Langsung minum obat lagi aja, habis itu kamu tidur lagi biar cepet sembuh," perintah Kak Danan saat melihatku menyuapkan sesendok bubur yang terakhir.
"Iya, Kak," sahutku.
Aku berusaha menuruti semua perintahnya agar Kak Danan cepat pulang dan keluar dari rumahku. Aku merasa sedikit sesak napas karena harus berdua saja dengannya di ruang pribadiku. Ini tidak baik untuk kesehatan hatiku. Apalagi aku sedang berjuang untuk mematikan perasaanku kepadanya.
"Udah," ujarku setelah meminum obat demam.
"Ya, udah sana kamu tidur. Kamu punya buku yang bisa aku pinjam, Ya?" tanya Kak Danan sambil beranjak menuju ruang tamu dan duduk di salah satu sofa.
"Buku? Buat dibawa pulang?" tanyaku bingung.
"Enggak. Buat dibaca di sini," sahutnya sambil tersenyum dan menepuk sofa yang tengah ia duduki.
"Kak Danan ga langsung pulang?" tanyaku masih bingung dan tidak paham dengan situasi yang tengah kuhadapi.
"Aku malas pulang, Ya. Aku mau di sini aja, nemenin kamu yang lagi sakit. Lagi pula di rumah aku juga paling cuma nonton atau baca buku. Ini akhir minggu, aku ga ada teman," jawab Kak Danan.
"Tapi, buat apa? Kan, Kak Danan nyuruh aku buat tidur, istirahat," tukasku berusaha membuat Kak Danan pergi secara halus.
"Ga enak tahu, Ya. Sendirian pas lagi sakit. Aku tahu rasanya. Aku mau di sini buat nemenin kamu. Gapapa, kamu istirahat aja biar cepat sembuh. Aku akan pulang nanti malam setelah memastikan kamu makan malam, minum obat lagi, baik-baik aja, dan enggak membutuhkan bantuan apa pun," tandas Kak Danan yang masih menolak untuk pulang.
Aku mengembuskan napas dengan sedikit keras.
"Kenapa, Ya? Kamu segitu ga sukanya aku di sini?" tanya Kak Danan.
"Bukan gitu, Kak. Aku cuma ga suka ngerepotin Kak Danan kayak gini. Aku udah ga terlalu demam, kok. Aku akan baik-baik aja," elakku.
"Aku ga merasa direpotin dan aku tetap memaksa untuk nemenin kamu di sini," tandas Kak Danan tanpa bisa diganggu gugat.
"Oke, terserah Kak Danan aja. Aku ga punya buku yang bisa dibaca sama Kak Danan. Adanya cuma majalah fashion. Kak Danan bisa menonton film, CD filmnya ada di rak sebelah tivi. Aku mau istirahat di kamar. Aku rasa aku agak sedikit pusing," ujarku sambil berjalan memasuki kamar.
Kututup pintu kamarku. Kupijit keningku perlahan. Masalah apa lagi yang akan kuhadapi? Kuputuskan untuk tidur karena efek kantuk yang diakibatkan oleh obat demamku mulai terasa. Samar-samar kudengar suara televisi dari ruang tamu. Biar aku hadapi masalah apa pun yang mungkin akan terjadi saat aku sedikit lebih sehat nanti malam. Semoga saja.
YOU ARE READING
Rayanya Hati Danan
Short StoryTentang cinta pada pandangan pertama Tentang cinta yang belasan tahun tak bertaut Tentang perasaan yang tak memudar oleh waktu Tentang Raya dan Danan yang akhirnya menemukan hati satu sama lain setelah melewati hati yang salah dan patah