Chapter 12

6 0 0
                                    

Danan POV

*14 tahun yang lalu

"Hai, Nan. Udah siap buat kasih materi ospek ke anak-anak baru?" tanya Kak Rosa menyapaku yang sedang sibuk membuat catatan.

"Sip, Kak. Aku udah nyiapin materinya dari semalem, kok," sahutku sambil tersenyum.

"Jangan tebar pesona sama adek kelas, ya, Nan," pesan Kak Rosi, kembaran Kak Rosa, menggodaku.

"Eh, aku sih ga pernah tebar pesona, ya, Kak. Pradip tuh yang suka tebar pesona, Kak," kilahku.

"Danan emang ga tebar pesona, Kak, tapi korbannya bisa dibarisin di lapangan upacara. Udah bisa bikin kelas baru kayaknya," sembur Pradip yang tidak terima namanya kubawa-bawa.

"Hahaha, bener banget tuh," tukas Kak Rosi.

"Udah, udah. Jangan gangguin Danan lagi, ntar dia manyun. Kamu masuk ke kelas berapa, Nan?" tanya Kak Rosa menyudahi godaan Kak Rosi dan Pradip kepadaku.

"Aku masuk kelas X.1, Kak," sahutku.

"Oke, semua siap-siap, ya. 5 menit lagi kita masuk ke kelas. Ingat, ga boleh ngerjain adik kelas kalau ga mau kena hukum sama guru BP," pesan Kak Rosa.

"Siap," sahutku dan Pradip bebarengan.

Aku masuk ke kelas X.1 bersama Kak Bintang. Kak Bintang mengucapkan salamnya kemudian giliranku yang menyapa adik-adik kelasku ini.

"Selamat pagi, adik-adik. Perkenalkan, saya anggota OSIS yang akan memandu kegiatan ospek kalian. Nama saya Birendra Dananjaya. Kalian bisa panggil saya dengan nama Kak Danan," ucapku memperkenalkan diri.

Aku mengedarkan pandangan ke seisi kelas. Lagi-lagi pandanganku berserobok dengan pandangan seseorang. Gadis yang kulihat 2 tahun lalu. Dia menatapku, ya aku yakin dia menatapku. Aku berusaha mengabaikan tatapannya. Aku tidak ingin terlihat salah tingkah di depannya. Kuperhatikan name tag yang ia kenakan. Naraya Karuna. Panggilannya Raya, begitu perkenalan yang dia sampaikan di depan kelas.

Raya. Raya. Raya ....

Namanya seperti lagu indah yang terus berputar-putar di kepalaku. Dari yang kuingat, sekarang dia lebih tinggi, lebih ramping, dan lebih manis. Senyumnya masih seindah waktu pertama kali ia tersenyum kepadaku. Selama hari pertama aku memandu ospek di kelasnya, beberapa kali pandanganku berserobok dengan pandangannya, tapi dia tetap diam. Dia tidak berusaha bermanis-manis dengan kakak kelas seperti beberapa adik kelas (ehm... perempuan) yang kutemui hari ini.

Tiga hari ospek telah berlalu, tapi aku belum menemukan cara untuk dekat dengan Raya. Begitu pula minggu-minggu berikutnya. Aku hanya bisa melihat Raya di kelasnya atau saat berpapasan dengannya di lorong kelas, tapi untuk berbicara langsung dengannya, aku belum pernah. Aku sering sengaja berjalan menyusuri lorong kelasnya hanya untuk melihatnya dari jauh.

Raya bukan anak yang pendiam. Aku tahu itu karena aku sering melihatnya bercanda dengan teman-temannya. Bahkan, aku pernah mendengarnya tertawa lepas sekali. Suara tawanya terdengar merdu di telingaku, membuatku tak bisa menahan diri untuk menatapnya.

Kulihat Raya hanya berteman dengan anak-anak seangkatannya. Raya juga tidak aktif di kegiatan ekstrakurikuler atau OSIS. Aku tahu dia anak yang pandai, seperti yang pernah kudengar dari teman-temannya. Tapi, dia tampak enggan untuk memiliki kesibukan di sekolah selain belajar.

Minggu berganti menjadi bulan lalu tahun. Aku masih merasa bodoh bukan hanya karena tidak bisa dekat dengan Raya, tapi juga karena tidak bisa memilih untuk melupakannya saja. Sudah beberapa kali aku mencoba dekat dengan gadis lain. Sekali aku berpacaran dengan teman seangkatan yang menembakku lebih dulu. Sekali aku berpacaran dengan adik kelas yang terlihat suka kepadaku. Semua hubungan itu tidak bertahan lama.

Saking inginnya dekat dengan Raya, aku pernah dengan bodohnya menembak Rifa yang kutahu adalah sahabat Raya. Begitu inginnya aku mengenal Raya lebih jauh sampai aku melakukan hal bodoh seperti itu. Untung saja Rifa tidak menerimaku karena dia menyukai orang lain, tapi kabar aku menembak Rifa sudah telanjur tersebar di angkatannya. Sejak saat itu, aku merasa Raya tidak pernah menatapku lagi saat kami berpapasan di lorong kelas.

Aku selalu mencari kabar tentang Raya. Beberapa kali kudengar dia didekati oleh teman seangkatannya, tapi tampaknya mereka sama gagalnya denganku. Hingga kudengar Raya berpacaran dengan Ardi, teman sekelasnya, menjelang kelulusanku. Hadiah kelulusan yang hebat dari gadis yang senyumnya masih kuingat dengan jelas.

Rayanya Hati DananWhere stories live. Discover now