Aku bangun saat jam menunjukkan pukul 4. Masih terdengar suara samar televisi dari ruang tamu. Kubuka perlahan pintu kamarku. Kulihat Kak Danan tertidur sambil memeluk bantal sofa dan bersandar di punggung sofa. Kudekati Kak Danan. Perlahan kududukkan tubuhku di sebelahnya. Kuperhatikan wajahnya saat sedang tertidur. Ini pertama kalinya aku menatap wajah tidurnya. Aku ingin merekam bentuk dan struktur wajahnya dalam ingatanku. Bahkan, saat ingin mematikan perasaanku, aku tidak bisa memungkiri betapa aku sangat mencintainya.
Bulu matanya lentik dan alisnya sangat tebal. Rahangnya persegi, membuat ekspresinya selalu terlihat tegas. Ahhh ... betapa aku ingin terus menatapnya seperti ini. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, berusaha menyingkirkan jutaan pikiran bodoh dalam otakku.
Aku beranjak pergi agar otakku kembali waras. Kurasakan tanganku ditahan. Saat kupalingkan kembali wajahku menghadap Kak Danan, dia membuka matanya perlahan.
"Mau ke mana, Ya?" tanyanya sambil menatapku.
Suaranya serak, khas orang yang baru bangun tidur.
"Oh ... eh ... aku mau ngambil minum. Kak Danan mau sekalian aku ambilin minum?" aku balik bertanya dengan gugup.
"Kamu udah ga demam?" tanya Kak Danan sambil memegang dahiku.
"Udah mendingan," sahutku pelan, berusaha mengalihkan pandanganku kepadanya.
"Iya, kayaknya suhu badan kamu udah mulai normal," ujar Kak Danan sambil menurunkan tangannya.
"Kak Danan masih mau di sini? Ga pulang?" tanyaku tanpa menatap ke arahnya.
"Kenapa? Kamu terganggu ya sama aku? Maaf ya, aku udah maksain buat nungguin kamu. Kamu pasti merasa risi karena ada laki-laki di rumahmu saat kamu sedang tidak enak badan. Maaf, tadi aku ga mikir sampe ke situ. Aku cuma ga mau kamu merasa kesepian saat sedang sakit," ujar Kak Danan.
"Enggak, aku ga merasa terganggu atau risi. Aku cuma ga enak karena udah ngerepotin Kak Danan," elakku.
"It's okay, Ya. It's okay!" ujar Kak Danan sambil tersenyum.
"Kalau begitu, aku mau mandi dulu. Kak Danan juga bisa mandi di sini, nanti aku akan minta Deva buat ngambilin baju di toko biar Kak Danan bisa ganti baju," ujarku sambil beranjak dari sofa.
"Enggak usah, Ya. Aku pake baju ini lagi aja. Aku pinjem handuk aja buat mandi," ujar Kak Danan, dia juga beranjak berdiri.
"Oke, Kak Danan bisa mandi di kamar tamu. Di sana juga ada kamar mandinya. Sebentar, aku ambilkan handuk dan sikat gigi baru," ujarku.
Setengah jam kemudian aku keluar dari kamarku. Kulihat Kak Danan sedang duduk di sofa ruang tamu sambil sibuk dengan ponselnya. Dia mengangkat kepalanya saat mendengar pintu kamarku terbuka.
"Kamu udah selesai mandi, Ya? Mau makan malam apa? Sup ayam atau soto? Kamu butuh makanan berkuah yang hangat agar lebih enakan," ujarnya sambil tersenyum kepadaku.
"Terserah Kak Danan aja. Aku suka dua-duanya, kok," ujarku sambil mengedikkan bahu.
"Oke, kalau githu aku pesenin sup ayam aja, ya. Pake nasi nggak?" tanya Kak Danan.
"Aku ga terlalu lapar sih, Kak," sahutku.
Aku ikut duduk di sofa, tapi tak terlalu dekat dengan Kak Danan. Rasanya, dosis kebersamaan kami hari ini sudah lebih dari cukup. Aku tak ingin mengambil risiko.
"Satu aja, ya, nasinya buat berdua. Nanti kamu harus tetep makan nasi sebelum minum obat," tandas Kak Danan.
"Oke," sahutku singkat.
Aku mengambil remote tivi dan menyalakannya. Kupindah-pindah saluran yang ada, tapi tidak ada yang menarik. Merasa kalah, aku memutuskan untuk mematikan lagi tivi itu.
YOU ARE READING
Rayanya Hati Danan
Short StoryTentang cinta pada pandangan pertama Tentang cinta yang belasan tahun tak bertaut Tentang perasaan yang tak memudar oleh waktu Tentang Raya dan Danan yang akhirnya menemukan hati satu sama lain setelah melewati hati yang salah dan patah